Dangdutin Aja: Dangdut, Viral, dan Hibriditas Media

Merebaknya pandemi yang masuk ke Indonesia pada Maret 2020 direspon berbeda-beda. Salah satu respon yang terbilang unik datang dari kalangan seniman, terutama musisi. Banyak musisi menjadikan Covid-19 dan berbagai hal yang ramai setelah masuknya virus tersebut sebagai tema lagunya. Dari segi genre, fenomena ini muncul dari berbagai genre, baik rap, dangdut, bahkan musik religi. Motivasi dibuatnya lagu-lagu tersebut beragam, tidak hanya memanfaatkan momen untuk bermusik, tetapi juga mendoakan.

Sebenarnya fenomena lagu yang mengangkat kejadian yang sedang ramai atau fenomena sehari-hari bukanlah hal baru. Namun lagu-lagu dari genre dangdut memiliki ciri khas. Lagu dangdut tidak hanya menjadikan fenomena sehari-hari sebagai tema lagu, tetapi juga mengubah pemaknaan atas fenomena tersebut. Penyanyi koplo, Alvi Ananta, merilis lagu “Corona”, singkatan dari Comoditas Rondo Merana (Komunitas Janda Merana) (Kapanlagi.com, 2020). Adopsi istilah dan pemberian makna baru sudah kerap terjadi sebelumnya, misalnya Gegana, nama tim penjinak bom, dijadikan lagu dangdut yang merupakan singkatan Gelisah Galau Merana. Fenomena lain yang sempat dijadikan lagu dangdut misalnya viral “Om Telolet Om” dan masih banyak lagi.

Wallach (2017, 30-31) yang melakukan etnografi terhadap berbagai musik di Indonesia melihat dangdut memang eklektik. Namun, Wallach hanya melihat eklektisisme dari segi musiknya, bukan adopsi lagu dangdut atas berbagai fenomena atau istilah yang sedang ramai di masyarakat. Saya melihat bahwa adopsi lagu dangdut atas istilah atau fenomena yang sedang ramai merupakan gabungan dari eklektisisme dangdut, perkembangan teknologi informasi, terutama internet yang memungkinkan sesuatu viral, dan hibriditas berbagai media, tidak hanya daring, tetapi juga luring.

Eklektiknya Dangdut

Dangdut memang eklektik. Rhoma Irama bahkan menyebut dirinya amfibian, dengan maksud seseorang yang menyerap dan mengadopsi berbagai jenis musik. Perkembangan dangdut yang eklektik bahkan tidak bisa diperkirakan oleh Rhoma Irama sendiri saat dangdut koplo marak di masyarakat. Koplo merujuk pada gabungan dangdut dan musik jaipongan, tetapi juga kerap dihubungkan dengan unsur musik elektronik, yang dimainkan dengan cepat. Asal nama koplo berasal dari pil koplo, obat halusinogen yang beredar pada 1990-an (Weintraub, 2010, 216). Saat maraknya dangdut koplo, Rhoma Irama meminta agar dangdut dibedakan dengan musik koplo, karena koplo dapat menghancurkan reputasi dangdut (Weintraub, 2013, 161, 182). Fenomena serupa juga sebenarnya menimpa dangdut yang dianggap “kampungan”, tetapi tetap dipertahankan dan bahkan menjadi ciri khasnya.

Wallach (2017, 31) juga mencatat hal yang sama terhadap berbagai perkembangan dangdut, seperti dangdut disko, dangdut reggae, dan dangdut remix yang walaupun berusaha trendi, tetapi justru dianggap lebih rendah. Justru pandangan rendah ini yang menjadi celah bagi dangdut untuk melakukan adopsi terhadap berbagai fenomena dan istilah yang sedang marak di masyarakat. Dengan statusnya yang rendah, dangdut dapat bebas mengambil berbagai unsur dari berbagai sumber, termasuk fenomena sehari-hari dan mudah ditemui. Kondisi ini semakin terlihat dalam dangdut koplo. Contohnya adalah asolole yang mungkin berasal dari asshole dalam bahasa Inggris yang kerap digunakan dalam skena koplo (Weintraub, 2013, 176). Asolole tidak hanya menjadi contoh dari adopsi dangdut terhadap istilah populer, tetapi juga kemampuan dangdut membentuk makna baru. Asolole dapat diartikan sebagai singkatan dari “Asosiasi Lonte Lebay” tetapi dapat divariasikan sebagai “Asli lo lebay” atau “Assalamualaikum dan selamat sore” (Weintraub, 2013, 176).

Dangdut dan Viralitas

Namun perkembangan kebiasaan mengangkat fenomena atau istilah populer dan pemaknaan baru atasnya menjadi semakin masif di tengah perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial. Postill (2014, 55) melihat media sosial sebagai media viral. Media sosial didesain dan digunakan secara aktif untuk menyebarkan sesuatu lewat berbagai rutinitas seperti like, retweet, dan share. Dangdut bergerak dengan mengadopsi berbagai hal viral.

Ada dua kelebihan dangdut yang membuatnya dapat bergerak bebas memanfaatkan fenomena viralitas ini. Pertama, dangdut tidak hanya mengadopsi sesuatu yang viral, tetapi memberikan makna baru terhadapnya. Kedua, eklektisisme dangdut bukan hanya menandakan bahwa dangdut mengadopsi ragam genre musik, tetapi dangdut merupakan bagian dari sesuatu yang dapat diadopsi itu sendiri, terutama oleh media-media seperti video yang banyak beredar di media sosial. Ini bisa terjadi karena pemaknaan baru yang dangdut ciptakan serta musiknya yang memang dibuat untuk mengiringi keseharian. Pemaknaan khas dari lagu dangdut ini juga merupakan ciri khas lagu dangdut yang berisi berbagai kontradiksi, seperti lirik sedih dan joget bahagia (Weintraub, 2010, 146). Dengan pemaknaan baru ini, lagu dangdut berpotensi menjadi viral baru dengan mengadopsi viral yang sudah ada. Ini misalnya lagu “Aku Rapopo” dari Julia Perez. Dalam Julia Perez, ungkapan Aku Rapopo yang berasal dari bahasa Jawa ini dicampurkan dengan bahasa Inggris dan dimaknai sebagai ungkapan kekecewaan seorang istri terhadap kelakuan suaminya yang main perempuan. Lagu “Aku Rapopo” ini akhirnya viral juga, mengikuti viralnya ungkapan Aku Rapopo yang awalnya banyak digunakan orang lajang.

Lanskap media juga memungkinkan viral tersebut tidak hanya terjadi di dunia virtual dan media sosial. Chadwick (2013, 2017, dalam Postill, 2018: 8) menyebut lanskap media sekarang sebagai sistem media hibrid yang merupakan gabungan antara media lama dan media baru, termasuk media daring dan luring. Sistem media hibrid ini amat terlihat dalam berbagai media kontemporer di Indonesia, terutama media elektronik. Tayangan televisi banyak yang menyiarkan kembali berbagai hal viral dari internet, seperti unggahan Instagram, cuitan Twitter, video YouTube, atau video TikTok. Ini memungkinkan lapisan masyarakat yang tidak memiliki media sosial tetap dapat mengikuti berbagai hal yang sedang viral di media sosial.

Dalam media sosial itu sendiri, terjadi interaksi antar berbagai platform, seperti mengunggah video YouTube dan TikTok di Instagram dan Twitter, mengunggah tangkapan layar dari Twitter dan Instagram ke media sosial lain, dan masih banyak pola interaksi antar platform lainnya. Tidak hanya itu, suatu konten, seperti misalnya video TikTok, juga menggunakan media lain seperti musik dangdut untuk mengiringinya. Berbagai lagu dangdut bahkan viral setelah digunakan dalam tren viral di TikTok atau sebagai pengiringnya.

Viral tidak hanya mengandalkan satu platform tertentu, tetapi media sosial dan bahkan media luring seperti televisi sudah saling terintegrasi turut menyebarkan sesuatu yang viral. Lagu dangdut akhirnya berputar dari memanfaatkan sesuatu yang viral di masyarakat, terutama media sosial, kembali lagi kepada masyarakat luas, bahkan menjangkau lapisan masyarakat yang pada awalnya belum mengetahui hal viral tersebut. Belum lagi berbagai infrastruktur suara lainnya, seperti angkutan kota (angkot) atau bis yang kerap memutar lagu dangdut (Wallach, 2017).

Dangdut, seperti diungkapkan Wallach (2017, 31) mempertahankan ciri khasnya yang eklektik. Sebagai budaya yang kerap dianggap rendah, dangdut bebas mengeksplorasi termasuk dengan mengambil berbagai unsur di luar dangdut. Dalam realitas viral (Postill, 2014), eklektisisme dangdut bekerja dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berpusat pada viral dan sudah saling terintegrasi antar platform dan bahkan media daring dan luring.

Referensi

Kapanlagi.com. (2020). 16 Seleb yang Lagunya Bertema Virus Corona, Ada Bimbo Sampai Rhoma Irama! Kapanlagi.com. Diakses dari https://m.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/16-seleb-yang-lagunya-bertema-virus-corona-ada-bimbo-sampai-rhoma-irama-2f7d11.html

Postill, John. (2014). Democracy in an Age of Viral Reality: A Media Epidemiography of Spain’s Indignados Movement. Ethnography, 15(1), 51-69.

Postill, John. 2018. The Rise of Nerd Politics: Digital Activism and Political Change. London: Pluto Press.

Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan & Keberagaman Aliran Lagu. Depok: Komunitas Bambu.

Weintraub, Andrew. (2010). Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press.

Weintraub, Andrew. (2013). The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia. Asian Music, 44(2), 160-194.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.