Agenda Hilirisasi Indonesia: Kunci Negara Keluar Dari Kutukan Sumber Daya?
brief article, Perubahan IklimDinamika hilirisasi bahan baku industri telah menjadi isu prominen yang mewarnai agenda pembangunan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Meski gencar mendapat penolakan dari Uni Eropa (EU) yang menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) atas tuduhan proteksionisme terhadap komoditas bijih nikel, Presiden Joko Widodo tetap menempatkan agenda hilirisasi sebagai blueprint kebijakan ekonomi-politik di masa kepemimpinannya. Berefleksi terhadap berbagai pernyataan yang dilontarkan sang presiden dan jajarannya, agenda ini nampak dipersepsikan sebagai kunci kemajuan bangsa Indonesia di tengah derasnya arus industrialisasi. Hadirnya pertambahan nilai secara eksponensial digadang-gadang dapat mengakselerasi kemajuan industri dalam negeri Indonesia yang saat ini masih didominasi oleh ekspor bahan baku industri mentah. Janji politik para calon presiden-calon wakil presiden pada gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk meneruskan agenda ini mengisyaratkan bahwa hilirisasi tetap akan menjadi tonggak pembangunan bangsa belasan tahun mendatang.
Alih-alih dikemas sebagai bentuk kebijakan proteksionisme belaka, penulis memandang bahwasanya agenda hilirisasi ini dapat menjadi instrumen vital Indonesia dalam menavigasi fenomena kutukan sumber daya, yang prevalensinya kerap disebabkan oleh perilaku diskriminatif negara-negara industri maju (NIM). Konteks ini berkaitan erat dengan tendensi NIM untuk mempertahankan status-quo dimana ketergantungan negara berkembang terhadap ekspor bahan industri mentah menjadi pemandangan yang lumrah ditemukan. Lebih jauh, artikel ini akan berusaha untuk mengekspos hipokritas NIM yang menerapkan standar ganda industrialisasi melalui bingkai-bingkai preservasi lingkungan – secara konseptual, teorisasi kicking away the ladder Ha-Joon Chang (2002) dirasa cocok untuk upaya pembingkaian. Pada akhirnya, dalam pandangan penulis, hilirisasi tak ubahnya merupakan cara negara-negara berkembang dalam menginterpretasikan ulang jawaban mereka atas pertanyaan klasik “Who gets what, when, and how?”
Secara sederhana, dalam kasus Indonesia, kebijakan hilirisasi dapat dimaknai sebagai strategi guna meningkatkan nilai tambah suatu komoditas yang dilakukan dengan mengolah bahan baku mentah menjadi bahan baku semi jadi melalui industri dalam negeri sebelum diekspor ke negara lainnya (Yasin dkk, 2021). Acap kali, arah gerak kebijakan ini juga diikuti oleh pelarangan ekspor bahan baku mentah dan pembangunan infrastruktur pengolahan secara besar-besaran. Dari segi legislasi, proses hilirisasi di Indonesia ditopang oleh UU No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 17 tahun 2020 yang mengatur soal ekspor bahan baku mentah. Dalam konstruksi kedua produk hukum ini, konteks peningkatan kebutuhan sumber daya mineral di lingkup global tentu tak dapat dinegasikan begitu saja. Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nikel Indonesia mengalami peningkatan dari 91.408,6 ton pada tahun 2019 ke 777.411,8 ton pada tahun 2022 – eskalasi ini tetap terjadi di tengah pelarangan ekspor bijih nikel mentah yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2020. Berbicara dari segi kepentingan nasional yang direpresentasikan oleh pendapatan materiil, kebijakan hilirisasi telah berkontribusi secara positif terhadap dinamika industrialisasi dalam negeri.
Tren peningkatan kebutuhan sumber daya mineral ini tentu berkaitan erat dengan tingginya appetite komunitas internasional terhadap kendaraan listrik (EV) yang digambarkan sebagai solusi untuk menekan angka emisi karbon. Dalam pembuatan ekosistem kendaraan listrik, nikel penting untuk diamankan secara kuantitas oleh negara-negara produsen guna menekan ongkos produksi. Tak hanya lumrah digunakan sebagai metode greenwashing, produksi EV nyatanya turut menyingkap ketimpangan dalam struktur pembagian kerja antara NIM dan negara berkembang. Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, dipaksa untuk menerima pendapatan sekitar 500–700 juta dollar dari hasil ekspor bijih nikel di sepanjang 2016–2019 meski tren EV telah menggeliat sejak pertengahan dekade 2010-an. Padahal, apabila nilai tambah ikut dikalkulasikan, pendapatan dari ekspor nikel Indonesia mampu melesat hingga 1.27 miliar dollar ataupun 5.97 miliar dollar seperti pada tahun 2021 dan 2022 (Ahdiat, 2023).
Pengalaman Indonesia ini erat dengan potret relasi eksploitatif antara NIM dan negara berkembang yang acap kali dipersepsikan sebagai lumbung bahan industri mentah belaka. Komoditas murah yang didapat dari negara berkembang diolah lebih lanjut oleh NIM sehingga added value proses produksi tak disirkulasikan kembali ke masyarakat di negara periphery – terma ini digunakan oleh Wallerstein (1996) untuk merujuk pada para negara berkembang yang sengaja dibatasi pendapatannya dalam rantai produksi. Mengingat rendahnya harga bijih nikel sebelum penetapan hilirisasi, penulis rasa langkah EU untuk menggugat Indonesia ke WTO merupakan langkah rasional, namun menyiratkan nuansa diskriminatif (Andrianto, 2021). Seakan mengafirmasi prinsip tit-for-tat dalam perdagangan internasional, EU membalas langkah Indonesia lewat penetapan Undang-Undang Anti-Deforestasi pada tahun 2023 yang melimitasi ekspor komoditas kunci, layaknya minyak kelapa sawit. Berkaca pada besarnya pendapatan Indonesia dari ekspor minyak kelawa sawit yang mencapai 29.62 miliar dollar pada tahun 2022, tindakan EU tentu memiliki dampak terhadap trade flow komoditas unggulan ini (Shibata, 2023). Preservasi lingkungan yang digaung-gaungkan sebagai alasan utama dibalik regulasi deforestasi pun memperlihatkan bagaimana isu lingkungan dipolitisasi untuk menghadirkan tekanan politik – dalam kasus ini, ditujukan agar Indonesia segera meninggalkan kebijakan hilirisasi tambang. Padahal, merujuk pada laman resmi Parlemen Eropa, EU secara keseluruhan masih merupakan emitter terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat pada tahun 2018.
Alih-alih memberi ruang bagi negara-negara baru ini untuk mengikuti alur industrialisasi, NIM justru membatasi perkembangan ini dengan dalih-dalih keseimbangan neraca perdagangan dunia hingga preservasi lingkungan. Dalam perjalannya, kelindan ini pun turut mengafirmasi preposisi Ha-Joon Chang (2002) yang dikenal sebagai kicking away the ladder – proses awal industrialisasi NIM banyak menggunakan metode proteksionis dan carbon intensive, namun langkah serupa kini dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma perdagangan internasional. WTO, ditengah kencangnya terpaan narasi mengenai disfungsionalitas, belum mampu memberi jalan tengah nan adil bagi kemelut ini. Keberpihakan WTO pada Uni Eropa justru memberi momentum bagi penggiringan opini komunitas internasional agar mendaulat langkah Indonesia sebagai bukti nyata proteksionisme sumber daya. Kondisi ini menegaskan asumsi bahwa interaksi ekonomi antar negara yang berkenaan dengan urusan distribusi sumber daya tak akan pernah lepas dari aspek politisasi dan diskriminasi, terlebih di struktur spesialisasi komoditas.
Akhir kata, hilirisasi yang dilakukan Indonesia merupakan bentuk usaha negara untuk keluar dari fenomena kutukan sumber daya dan mensirkulasikan kembali hasil ekstraksi kekayaan alam yang dimilikinya untuk pembangunan dalam negeri. Secara fundamental, proses ini ditujukan untuk menyerap kembali nilai tambah yang selama ini mengalir ke NIM sebagai produsen tingkat lanjut. Alih-alih dipandang sebagai bentuk proteksionisme semata, kebijakan ini memberi arti penting bahwa Indonesia memiliki determinasi untuk memperbaiki posisinya di peta perdagangan internasional.
Referensi
Ahdiat, A. (2023). Ekspor Nikel Indonesia Meroket pada 2022, Rekor Tertinggi Sedekade | Databoks. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/06/ekspor-nikel-indonesia-meroket-pada-2022-rekor-tertinggi-sedekade
Chang, H.-J. (2002). icking Away the Ladder: An Unofficial History of Capitalism, Especially in Britain and the United States. Challenge, 45(5).
European Parliament. (2018). Greenhouse gas emissions by country and sector (infographic) | News | European Parliament. Www.europarl.europa.eu. https://www.europarl.europa.eu/news/en/headlines/society/20180301STO98928/greenhouse-gas-emissions-by-country-and-sector-infographic#:~:text=The%20EU%20is%20the%20third
Shibata, N. (2023). Singapore-based Indonesia palm oil exporter grapples with EU law. Nikkei Asia; Nikkei Asia. https://asia.nikkei.com/Business/Markets/Commodities/Singapore-based-Indonesia-palm-oil-exporter-grapples-with-EU-law
Wallerstein, I. (1996). The Inter-State Structure of the Modern World System. In International Theory: Positivism and Beyond (pp. 87–107). Cambridge University Press.
Yasin, C. M., Yunianto, B., Sugiarti, S., & Hudaya, G. K. (2021). Implementation of Indonesia coal downstream policy in the trend of fossil energy transition . IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. International Seminar on Mineral and Coal Technology.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!