Disrupsi Intimacy dan Dampaknya dalam Penipuan dengan Modus Romansa Cinta

,

Transformasi digital menimbulkan disrupsi dalam praktik keintiman (intimacy) masyarakat. Sebagai bentuk hubungan afektif, keintiman telah melalui berbagai perubahan (Giddens, 1992 dalam Valentine, 2006). Meski demikian, praktik keintiman dengan basis kenikmatan bersama (mutual satisfaction) nampaknya menjadi semakin mengemuka (Manasikana dan Noviarni, 2021). Dalam konteks ini, konsep cinta menjadi cair (liquid love), di mana afeksi diekspresikan dalam hubungan antar-individu tanpa harus dilandasi oleh ikatan tertentu (Bauman, 2003 dalam Muniruzzaman 2017). Pergeseran menuju liquid love ini, di satu sisi, difasilitasi oleh transformasi digital. Di lain sisi, mengemukanya liquid love juga mendorong munculnya praktik keintiman berbasis ketidakjujuran. Hal ini tercermin, misalnya, dalam bentuk penipuan dengan modus romansa cinta. Artikel ini berusaha menggambarkan tren transformasi keintiman dalam kaitannya dengan transformasi digital. Secara khusus, artikel ini juga merumuskan strategi untuk menangani praktik keintiman yang berbasis ketidakjujuran.

Transformasi Digital dan tansformasi keintiman

Sebagai ekspresi dari relasi afektif, keintiman mengalami berbagai transformasi sepanjang sejarah. Menurut Jamieson (1989) dalam Valentine (2006) keintiman (intimacy) merupakan basis dalam sebuah relasi atau hubungan seperti kehidupan keluarga, komunitas, masyarakat dan hubungan lainnya yang terikat secara emosional. Oleh sebab itu, keintiman merupakan salah satu aspek penting yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia  sebagai  makhluk sosial. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu konsep keintiman mengalami disrupsi dan transformasi  dalam  tatanan sosial masyarakat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Anthony Giddens (1992) yang melihat perubahan relasi keintiman dari masa ke masa karena dipengaruhi oleh beragam aspek seperti dinamika ekonomi, politik dan budaya yang mencakup modernitas di masyarakat Eropa (Manasikana dan Novirani, 2021).

Sebelumnya, konsep keintiman hanya dimaknai sebagai hubungan individu yang dilandaskan pada ikatan tertentu. Seperti praktik keintiman yang tumbuh dalam hubungan setelah menikah (Muniruzzaman,  2017 dalam Mansikana dan Noviarni, 2021). Selanjutnya, praktik keintiman mulai bergeser seiring dengan munculnya narasi hubungan romantis pada karya sastra dan novel (Giddens, 1992, dalam Valentine, 2006). Lebih jauh, di era modern praktik keintiman menerobos tradisi, norma, dan kebiasaan yang telah ada. Sehingga, praktik keintiman pun sudah mengalami restrukturisasi berdasar kemunculan hubungan yang memiliki prinsip “multual satisfaction” atau hanya untuk memunuhi kebutuhan emosional maupun seksual yang akan terus berlanjut selama kedua pasangan sama-sama mendapatkan manfaat (benefit) darinya (Manasikana dan Noviarni, 2021).

Sementara itu, Bauman (2003) dalam Hobbs dan Gerber (2017) mengatakan praktik keintiman di era digital yaitu lebih cair (liquid love). Dimana setiap individu memiliki kebebasan memanfaatkan ruang digital dalam menjalin hubungan romantis dengan siapapun. Meski ruang digital terkesan seperti memberi kebebasan, namun angka penipuan dengan modus romansa cinta masih sering terjadi pada tingkat global dan lokal. Agent Haring (2021) mengatakan kerugian penipuan di internet di seluruh dunia mencapai USD 7 miliar atau kurang lebih Rp106 triliun. Dimana penipuan dengan modus romansa cinta mencapai 956 juta atau kurang lebih 14 triliun. Di samping itu, kejadian yang sama juga terjadi di Indonesia karena menjadi kasus yang paling sering dilaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Pusiknas.polri.go.id, 2021)

Anonimitas dan hubungan romantis di internet

 Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi sebagai artefak telah membawa budaya baru bagi masyarakat. Lebih jauh, keberadaan komputer atau device yang terhubung dengan internet telah mengubah pola komunikasi  masyarakat menjadi termediasi (computer mediated communication). Di sisi lain, komunikasi yang termediasi mampu mendorong individu menjadi anonim atau “anonymous” di internet melalui penggunaan nama samaran (pseudonim),  mencuri identitas orang lain, memiliki identitas fiksional,  dan lainnya di ruang digital (Ayundari dan Perbawani, 2021). Selanjutnya, Wallace, dkk (1999) dalam  Ayundari dan Perbawani (2021) menambahkan anonimitas di internet juga memberikan kesempatan terhadap individu untuk menciptakan personanya sehingga mampu memberikan kesan (impression) untuk  merepresentasikan diri (self-presentation) berdasar apa yang ingin ditunjukkan dan ditutupi kepada pengguna lainnya.

Sehingga, di era digital  keintiman juga  menjadi lebih cair dan memungkinkan  individu yang tidak saling mengenal untuk menjalin relasi romantis. Disrupsi keintiman telah dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengeksploitasi perubahan dalam dunia komunikasi untuk mencari keuntungan pribadi seperti ekonomi. Dalam hal ini, praktik keintiman telah menghadirkan penipuan dengan modus romansa cinta di era digital tidak bisa dilepaskan dari  unsur komunikasi interpersonal sebagai berikut: terdapat pengirim pesan  sebagai pelaku, penerima pesan (korban), karakteristik pesan untuk memulai hubungandan  proses umpan balik (Barrow, 2010 dalam Juditha, 2015). Untuk itu, menurut Malko (2007) dalam Rege (2009) berikut beberapa tahapan yang dilakukan oleh pelaku penipuan dengan romansa cinta di internet. Pertama, pelaku menggunakan situs seperti online dating atau aplikasi privat sebagai batu loncatan untuk bertemu dengan korban, dalam hal ini pelaku biasanya menggunakan foto profil palsu dan mengunggah beragam foto lainnya untuk melancarkan aksinya. Kedua, pelaku biasanya akan mulai berkomunikasi dengan calon korban, pada tahapan ini biasanya pelaku mulai membangun intimacy dengan para korban sehingga menghasilkan kepercayaan untuk menjalin hubungan romantis antara pelaku dan korban. Ketiga, ketika pelaku sudah mendapatkan kepercayaan dari korban, pelaku pun mulai membuat beragam cerita untuk melancarkan modusnya. Dalam hal ini, beragam cerita mulai dinarasikan pelaku seperti, membutuhkan biaya rumah sakit karena tiba-tiba kecelakaan dan menceritakan keadaan tragis lainnya, sehingga korban memiliki rasa empati dan mengirimkan sejumlah uang sesuai dengan permintaan yang diinginkan pelaku.

Dengan demikian, Novi dkk (2022) menyarankan agar setiap pengguna internet memiliki kesadaran akan risiko penipuan digital dan membekali diri dengan kemampuan digital yang cakap. Di samping itu, masyarakat juga harus memiliki kompetensi kecakapan digital, sebagai berikut; Pertama, memiliki kemampuan untuk mengindetifikasi dan verifikasi. Artinya, ketika menggunakan online dating dan sedang berinteraksi dengan akun lain, dianjurkan untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan memverifikasi  akun  tersebut dari berbagai sumber termasuk melakukan pengecekan jejak digital. Kedua, tetap terbuka dengan teman dan keluarga ketika menjalani relasi di internet. Hal tersebut merupakan tindakan preventif agar tidak terjebak dalam relasi yang tidak sehat di online dating. Di sisi lain, apabila terjadi tindakan yang mengarah pada penipuan digital maka keluarga dan teman-teman terdekat bisa dijadikan sebagai tempat pertama untuk meminta pertolongan. Ketiga, memiliki keberanian untuk menghubungi lembaga pemerintah dan swasta ketika menjadi korban love scam. Seperti menghubungi lembaga perbankan untuk melakukan pengecekan mutasi pengiriman uang. Selanjutnya, melapor ke pihak berwajib supaya  korban mendapat penanganan yang tepat sebagai korban penipuan digital dan pelaku mendapatkan sanksi hukum  (Preventing Charity Fraud, 2021). Dengan demikian, langkah mikro seperti yang sudah diuraikan sebelumnya diharapkan dapat menjadi kunci untuk menghadapi penipuan dengan modus romansa cinta di internet.

Referensi

Anonymous. (2021). Fenomena Love Scaming: Jangan Gampang Percaya Kata-kata cinta. Di akses dari https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/fenomena_love_scamming:_jangan_gampang_percaya_kata-kata_cinta.

Anonymous. (2021, Agustus). Internal Counter Fraud Communications (Good internal communication about fraud can lead to a well-informed, enganged and empowered workforce and a more fraud- resilent, ethical charirty). Di akses dari https://preventcharityfraud.org.uk/document/internal-counter-fraud-communications/.

Ayundari, K. W., & Perbawani, P. S. (2021). Dinamika online persona akun anonim twitter penggemar Kpop. Jurnal Media Dan Komunikasi Indonesia2(1), 40-54.

Hobbs, M., Owen, S., & Gerber, L. (2017). Liquid love? Dating apps, sex, relationships and the digital transformation of intimacy. Journal of Sociology53(2), 271-284.

Juditha, C. (2015). Pola Komunikasi Dalam Cybercrime (Kasus Love Scams). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika6(2), 29-40.

Kurnia, Novi., dkk. (2022). Penipuan Digital di Indonesia Modus, Medium, dan Rekomendasi. Yogyakarta: Whats App, CFDS ( Center for Digital Society), Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada dan PR2Media.

Manasikana, R. A., & Noviani, R. (2021). Peran Media Massa dan Teknologi dalam Transformasi Keintiman di Indonesia. Calathu: Jurnal Ilmu Komunikasi3(1), 7-19.

Muniruzzaman, M. D. (2017). Transformation of intimacy and its impact in developing countries. Life sciences, society and policy13, 1-19.

Rege, A. (2009). What’s Love Got to Do with It? Exploring Online Dating Scams and Identity Fraud. International Journal of Cyber Criminology, 3(2).

Valentine, G. (2006). Globalizing intimacy: The role of information and communication technologies in maintaining and creating relationships. Women’s Studies Quarterly34(1/2), 365-393.

 

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.