Peluang dan Tantangan Teknis Implementasi Biodiesel Dalam Upaya Peningkatan Bauran Energi Terbarukan di Indonesia
brief article, Perubahan IklimPengembangan energi alternatif terbarukan telah bertransformasi menjadi rencana wajib bagi negara-negara di dunia. Mandatori dunia internasional melalui UNFCC 1994, Kyoto Protocol 2004, Paris Agreement 2016, serta konferensi iklim PBB (COP27) menunjukkan perhatian utama terhadap isu energi, yang diikuti dengan upaya global dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca. Adapun sektor energi dan proses industri adalah aktor utama perubahan iklim, dengan konstribusi emisi sebesar 89% dari total emisi global sejak 1990 hingga 2021, serta menyebabkan kenaikan suhu rata-rata bumi 0,3 oC per tahun. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia memiliki target pemangkasan 358 juta ton CO2 atau sebesar 12,5% dari total target pengurangan emisi nasional pada 2030 (Direktorat Bioenergi Kementrian ESDM, 2018; International Energy Agency, 2021; Maqoma, 2022).
Pemenuhan target tersebut didukung oleh beberapa program pemerintah, seperti program pemanfaatan bahan bakar nabati biofuel untuk campuran bahan bakar solar, serta pemakaian biomassa dalam teknik co-firing di industri pembangkit listrik tenaga uap. Sekilas terlihat bahwa hal tersebut merupakan program ‘green energy’, lantaran penggunaan sumber daya terbarukan dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Namun, perlu dilihat lebih dalam terkait peluang dan tantangan implementasi bioenergi tersebut untuk memastikan, apakah penerapannya mampu mendukung gerakan global penanganan perubahan iklim, atau justru sebaliknya. Sehingga, dalam artikel ini akan dibahas secara khusus mengenai peluang dan tantangan teknis implementasi biodiesel dalam upaya peningkatan bauran energi terbarukan di Indonesia.
Adopsi Biodesel di Sektor Transportasi dan Pembangkit Listrik
Kebijakan penerapan biodiesel di Indonesia untuk sektor kendaraan bermotor telah sampai pada persentase bauran sebesar 35% (B35), yang berarti campuran bahan bakar terdiri dari solar dan 35% fatty acid methyl ester (FAME). Jika ditinjau secara historis, Indonesia bisa dibilang sebagai negara yang ambisius dalam percepatan peningkatan bauran biodiesel ini. Dimulai dari bauran 1% di tahun 2009, kemudian naik ke 2,5% di tahun 2010 – 2013, lalu 10% di tahun 2014, 15% di tahun 2015, 20% di tahun 2016 – 2019, 30% mulai dari tahun 2020, dan kini per Februari 2023 sebanyak 35% (Rahmanulloh & McDonald, 2019). Kebijakan peningkatan bauran pada sektor ini pada dasarnya akan turut mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan Indonesia sebanyak 23% di tahun 2025.
Selain itu, sektor pembangkit listrik juga menjadi salah satu sektor strategis penerapan biodiesel oleh pemerintah. PLN telah menerapkan penggunaan biodiesel di pembangkit listrik berbahan bakar gas, pembangkit listrik berbahan bakar solar, dan pembangkit listrik mesin gas. Pada 2019, penggunaan B20 dan B30 untuk pembangkit listrik PLN mencapai 2.158 kiloliter, naik dari tahun sebelumnya 1.641 kiloliter. Sementara itu, jumlah PLTD yang siap menggunakan B30 sebanyak 4.435-unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebelumnya, Indonesia telah menerapkan B20 untuk sektor pembangkit listrik yang mampu menyerap FAME sebanyak 451.723 kiloliter (Wardany & Mohareb, 2021). Penyerapan biodiesel yang tinggi ini memiliki potensi percepatan peningkatan bauran energi terbarukan di Indonesia. Bersama, penerapan biodiesel minyak nabati turut meningkatkan serapan energi dalam negeri, mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, serta meningkatkan nilai ekonomis tanaman penghasil minyak. Namun di sisi lain, penerapan biodiesel ini juga perlu penyesuaian khusus baik di sektor kendaraan bemotor ataupun pembangkit listrik.
Tantangan di Sektor Transportasi
Dalam praktiknya, penerapan biodiesel pada sektor transportasi tidak secara langsung dapat dilakukan pada semua jenis kendaraan. Hal tersebut mengingat peralihan penggunaan bahan bakar solar menuju biodiesel menyebabkan produsen kendaraan harus menyesuaikan spesifikasi mesin yang digunakan, supaya kendaraan tetap mampu menghasilkan performa yang baik. Dalam beberapa uji coba sebelumnya, penggunaan biodiesel cenderung mempercepat terjadinya filter clogging atau penyumbatan filter bahan bakar akibat materi partikulat dan kotoran dari biodiesel. Sehingga, filter bahan bakar pada kendaraan dengan bahan bakar biodiesel cenderung akan lebih sering diganti, dan secara linier akan turut meningkatkan biaya perawatan (Chong et al., 2015; Senatore et al., 2004).
Faktor emisi juga menjadi perhatian penting dalam penggunaan biodiesel pada kendaraan bermotor ini. Berdasarkan pengujian, penggunaan biodiesel ini mampu mengurangi kadar emisi karbon dan materi partikulat (Ogunkunle et al., 2021). Menurut European Commission, melalui kajian life cycle analysis, menunjukkan bahwa penggantian bahan bakar solar/diesel konvensional menjadi biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50-60%. Namun, tingkat emisi dan karakteristik biodiesel ini belum cukup untuk memenuhi standar emisi gas buang maksimum Euro 4. Berbagai penyesuaian dan pengolahan teknis masih perlu dilakukan sehingga kedepan biodiesel mampu memenuhi standar ini (kandungan oktan minimal 91 dan sulfur maksimal 50 ppm).
Tantangan Pola Distribusi
Saat ini, proses distribusi biodiesel di Indonesia dilakukan melalui 112 Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) yang tersebar di seluruh territorial Indonesia. Selain itu, terdapat 20 biorefineri serta 8 refineri minyak solar sebagai tempat penyimpanan sebelum dilakukan pencampuran bahan, dan dikirim ke seluruh TBBM Pertamina. Adapun jumlah TBBM yang dapat dioperasikan sebagai tempat pencampuran berjumlah 10 kilang. Artinya, setelah dilakukan pencampuran maka biodiesel baru dapat didistribusikan ke 102 TBBM yang lain (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2017). Provinsi Riau menjadi daerah penghasil biodiesel terbanyak yakni sebesar 5,1 juta kiloliter per tahun 2021. Produksi biodiesel didominasi oleh Pulau Sumatera, sementara Pulau Jawa hanya menghasilkan 30%, padahal permintaan biodiesel didominasi di wilayah ini. Selain itu, titik pencampuran juga masih cukup terpusat di Pulau Jawa sehingga efisiensi dan distribusi pencampuran masih menjadi tantangan (Solikhah et al., 2021).
Disamping itu, beberapa alur distribusi menggunakan transportasi laut, yang mana membutuhkan waktu cukup lama. Adapun Pertamina selama ini mengangkut FAME, bahan baku bioenergi, menggunakan truk tangki sebanyak 60 unit per hari. Namun, dari sisi logistik, hal tersebut kurang efisien karena dalam 2 hari hanya dapat mengangkut 3.000 KL. Padahal dalam skema idealnya, 1 kapal dapat mengangkut hingga 5.000 KL dalam 1-2 hari.
Masalah tepat waktu dalam ketersediaan bahan baku dan harga sewa kapal yang sangat mahal membuat biaya minimum produksi biodiesel cukup tinggi (Abimanyu & Muhammad, 2022; INSA, 2018). Jika dihitung berdasarkan keseluruhan rantai produksi tanpa subsidi, maka biodiesel memiliki biaya produksi yang lebih mahal Rp1.929.52 per liternya (Harahap et al., 2019; U.S. Energy Information Administration, 2023). Ditambah lagi terdapat biaya investasi penyediaan dan operasional tangki dengan kapasitas yang besar untuk menampung pengiriman langsung ke beberapa lokasi. Melihat beberapa fakta tersebut, secara jelas terjadi ketidaksesuaian antara skema distribusi pemerintah, dengan kapasitas produksi dan kemampuan distribusi industri yang membuat alur produksi dan distribusi biodiesel belum efisien dan optimal. Kompleksitas alur distribusi ini harus direstrukturisasi supaya lebih efisien sehingga mampu memangkas beberapa biaya yang dibutuhkan. Hal itu terkait menyelesaikan masalah jumlah dan kapasitas terminal, lokasi pencampuran, serta kuantitas biodiesel dari industri pengolahan kepala sawit ke Pertamina. Titik pencampuran juga harus memperhatikan besaran permintaan konsumen di sekitar terminal yang ada, padahal pertimbangan tersebut bisa ditinjau dengan melihat persebaran penduduk Indonesia yang mayoritasnya, (sekitar 70%) berada di wilayah barat dan tengah. Beberapa penyesuaian dan upaya optimalisasi tersebut dimaksudkan untuk membuat biaya transportasi akomodasi seminimal mungkin dengan tetap memastikan persediaan tiba tepat waktu.
Peningkatan target bauran baik dari B20 ke B30 ataupun kelak menuju B40, B50, dan B100 harus mendapat persetujuan dan pernyataan kesanggupan industri untuk menerapkan kebijakan tersebut. Pada akhirnya, adopsi biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memerlukan kebijakan serta aturan terintegrasi yang disepakati bersama oleh seluruh pihak terkait mulai dari pemerintah, industri pengolahan biodiesel serta pengguna biodieselnya itu sendiri.
Tantangan di Sektor Pembangkit Listrik
Secara teknis, penerapan biodiesel pada sektor pembangkit listrik memerlukan penyesuaian dalam hal modifikasi konfigurasi pembangkit listrik khususnya pada bagian burner-nya. Misalnya penggunaan heater dan mekanisme agitasi pada tanki biodiesel, kemudian penggunaan swirler dengan desain tertentu untuk memaksimalkan proses pencampuran biodiesel dengan udara. Biodiesel memiliki viskositas dan titik nyala yang tinggi yang membuat proses pembakaran sulit terjadi (Laila, 2017; S & Yusuf, 2010). Dalam proses pembangkitan listrik, suatu proses pembakaran harus mencapai titik auto-ignition secepat mungkin yang ditandai dengan semakin cepatnya proses pencampuran udara dan bahan bakar sehingga pembakaran lebih cepat terjadi. Jika pembakaran terjadi secara lambat, maka penggunaan bahan bakar menjadi boros dan terbuang sia-sia. Disamping itu, performa biodiesel dalam proses pembakaran masih memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan solar. Suhu yang lebih rendah ini membuat biodiesel memerlukan waktu lebih lama untuk memanaskan air di boiler guna mencapai uap saturated atau superheated yang dibutuhkan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.
Kesimpulan
Biodiesel memiliki potensi menjadi sumber bahan bakar alternatif dan terbarukan yang dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, pengembangan biodiesel masih menghadapi tantangan teknis seperti kualitas dan spesifikasi biodiesel, kesiapan sektor industri kendaraan bermotor dan pembangkit listrik, serta kesiapan infrastruktur dan teknologi pendukung dalam implementasi biodiesel. Dukungan pemerintah dan keterlibatan industri sangat diperlukan untuk mempercepat pengembangan bioenergi di Indonesia.
Referensi
Abimanyu, A. S., & Muhammad, A. (2022). PRA RANCANGAN PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DAN METANOL DENGAN KAPASITAS 100.000 TON/TAHUN. Universitas Islam Indonesia.
Chong, C. T., Ng, J.-H., Ahmad, S., & Rajoo, S. (2015). Oxygenated palm biodiesel: Ignition, combustion and emissions quantification in a light-duty diesel engine. Energy Conversion and Management, 101, 317–325. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.enconman.2015.05.058
Direktorat Bioenergi Kementrian ESDM. (2018). User guide for Bioenergy Sector Indonesia 2050 Pathway Calculator. 1–27.
Harahap, F., Silveira, S., & Khatiwada, D. (2019). Cost competitiveness of palm oil biodiesel production in Indonesia. Energy, 170, 62–72. https://doi.org/10.1016/j.energy.2018.12.115
INSA. (2018). Pemerintah Pangkas Proses Distribusi Bahan Baku Biodiesel.
International Energy Agency. (2021). Global Energy Review : CO2 Emissions in 2021 Global emissions rebound sharply to highest ever level.
Laila, L. (2017). KAJI EKSPERIMEN ANGKA ASAM DAN VISKOSITAS BIODIESEL BERBAHAN BAKU MINYAK KELAPA SAWIT DARI PT SMART TBK. Jurnal Teknologi Proses Dan Inovasi Industri, 2(1). https://doi.org/10.36048/jtpii.v2i1.2245
Maqoma, R. I. (2022). Apa itu COP27? Ini penjelasan istilah-istilah rumit dalam konferensi iklim tahunan dunia. The Conversation. https://theconversation.com/apa-itu-cop27-ini-penjelasan-istilah-istilah-rumit-dalam-konferensi-iklim-tahunan-dunia-193744
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2017). Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia|Nomor: 3756K/10/MEM/2017|Determination of biodiesel biofuel business entity and volume volume allocation for the procurement of biodiesel biofuel in Pertamina and PT Corporate Corporation.
Ogunkunle, O., & Ahmed, N. A. (2021). Overview of Biodiesel Combustion in Mitigating the Adverse Impacts of Engine Emissions on the Sustainable Human–Environment Scenario. Sustainability, 13(10), 5465. MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/su13105465
Rahmanulloh, A., & McDonald, G. (2019). Indonesia Biofuels Annual Report 2019. In Global Agricultural Information Network (GAIN) Report.
S, T. H., & Yusuf, R. (2010). Preparasi Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Kelapa Sawit. MAKARA of Technology Series, 6(2). https://doi.org/10.7454/mst.v6i2.64
Senatore, A., Cardone, M., Rocco, V., & Prati, M. V. (2004). A Comparative Analysis of Combustion Process in D.I. Diesel Engine Fueled with Biodiesel and Diesel Fuel. In Alternative Diesel Fuels (pp. 40–45). https://doi.org/https://ieeexplore.ieee.org/servlet/opac?bknumber=8522095
Solikhah, M. D., Barus, B. R., Karuana, F., Wimada, A. R., & Amri, K. (2021). Pedoman Penanganan dan Penyimpanan Biodiesel dan Campurannya (B30). 40–50
U.S. Energy Information Administration (EIA). (2023). Gasoline and Diesel Fuel Update. https://www.eia.gov/petroleum/gasdiesel/
Wardany, S. El, & Mohareb, H. (2021, September 9). Libya Protests Block Oil Exports, Risking Recent Stability. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-09-08/libya-protesters-halt-tanker-loading-at-key-oil-port
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!