Bergerak dari Belakang ke Depan
brief articleBagi seorang peneliti, meneliti seperti menjadi rutin saja. Yang rutin itu tampaknya seperti rangkaian peristiwa yang terjadi tanpa problem apa-apa. Padahal peneliti merupakan profesi yang bisa berbicara banyak tentang dirinya sendiri. Pertama, lingkungan kerjanya bergerak pada relasi dinamis ide dan data. Disusul kemudian oleh ketegangan idealisme dan realitas sosial. Lantas diikuti oleh keterampilan bernalar yang harus memadai. Kenyataan ini melahirkan berbagai masalah. Masalah-masalah itu, setidaknya, meliputi: tema penelitian dan posisi peneliti. Uraian berikut akan menjelaskan keduanya secara singkat.
Tema Penelitian
Fisipol UGM menginisiasikan Program Mega Shift. Dalam poster program itu terdokumentasikan antara lain: “Di area riset disrupsi akan menghadirkan topik-topik baru yang butuh diteliti dengan berbagai teknik riset inovatif dan pendekatan yang bersifat multidisiplin” (Poster Fisipol UGM 2023). Rupanya Fisipol UGM ingin memulai era baru penelitian terpicu oleh disrupsi di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan dialami oleh makhluk hidup dan manusia. Yang terakhir ini tentu menjadi prioritas utama untuk diteliti.
Manusia adalah salah satu-satunya makhluk yang punya kesadaran diri. Kesadaran itu mendorongnya menempuh proses pembelajaran dan penghayatan realitas sosial. Untuk apa? Untuk menentukan kualitas dan esensi dirinya. Makin mendalam kesadaran itu, makin cepat pula manusia bergerak dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Tentu saja demi eksistensi dirinya.
Secara praktis, manusia tidak bisa eksis sendiri. Keberadaan manusia adalah keberadaan bersama. Dalam konteks ini, Kasdin Sihotang (2018) menulis:
……kehidupan manusia sesungguhnya merupakan perpaduan antara manusia dengan manusia yang lain. Jadi kodrat manusia sebagai pribadi adalah “mengada bersama-sama dengan pribadi yang lain” (being with other persons) (2018: 113).
Kutipan ini menunjukkan, manusia harus menjalani kehidupannya secara berbagi (sharing) dengan manusia lain. Sharing sudah menjadi kelaziman. Dengan sharing bersama orang lain, seorang individu lebih berarti. Dia merasa lebih eksis. Wajar kalau seorang individu membutuhkan individu lain agar bisa menjalani kehidupannya dengan bermakna dan manusiawi.
Lantas bagaimana? Manusia perlu tahu tentang perkembangan masyarakat dengan segala ikutannya. Apa contoh konkritnya? Mulai dari masyarakat agraris, masyarakat industri, masyarakat informasi hingga masyarakat digital. Apa yang harus diketahui manusia? Manusia perlu tahu tentang bagaimana bisa bertahan dalam setiap jenis masyarakat itu. Semua pengetahuan ini sangat penting untuk menentukan tempat manusia dalam masyarakat. Maka manusia harus menjadi subjek penelitian. Manusia bukan objek tetapi subjek yang memprakarsai modus dan ruang untuk kepentingannya. Manusia yang menentukan agendanya sendiri. Agenda ini, meminjam pendapat Yuval Noah Harari (2018), meliputi (i) melakukan upaya menuju tidak sakit, dan (ii) menemukan kunci kebahagiaan. Kedua agenda ini bisa diangkat menjadi tema besar penelitian.
Menjadi tidak sakit tentu saja baik. Namun, usaha mencapainya tidak mudah. Manusia perlu belajar mempratikkan hidup sehat. Mereka perlu mengetahui jenis-jenis obat yang bisa mencabut nyawa (Kita kaget, pada Oktober 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan obat-obatan yang menyebabkan gagal ginjal akut). Mereka harus bisa melihat kaitan kerusakan lingkungan dan kehidupan yang sehat. Mereka juga harus mampu mentransendenkan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar mereka tentang hidup sehat.
Manusia bisa bahagia dengan berbagai jalan. Ia bisa dicapai melalui pembangunan ekonomi, politik dan sosial. Namun, kenyataan menunjukkan, pembangunan di Indonesia selama ini seolah-olah bertugas hanya untuk menaikkan Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP), dan memodernkan kehidupan ekonomi sebagaimana disuarakan IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank. Ia seakan-akan tutup mata soal utang luar negeri terus saja membengkak.
Mungkin ada yang bilang, uang bisa mendatangkan kebahagiaan. Lalu orang habis-habisan meraih uang agar bahagia. Mereka seolah-olah lupa uang adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Alhasil sarana telah mengambil alih tujuan. Kebahagiaan terlupakan. Ini tentu saja tidak bijak.
Keterangan ini perlu mendapat perhatian karena akan ada banjir dana ekonomi hijau, sebagai salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali. Indonesia akan memperoleh dana dari perdagangan karbon. Namun, siapa yang akan memperoleh keuntungan dari dana itu? Agaknya Indonesia belum menentukannya secara operasional dan adil.
Di atas semua itu, secara filosofis keberhasilan pembangunan dinilai dari kemanusiaan yang menyeluruh. Mau tak mau kita berurusan dengan ideologi yang mendasari kebijakan pembangunan itu. Agar adil, diperlukan diskusi etis dan politis tentang pembangunan sebagai means bukan aims. Dalam diskusi ini perlu dimasukkan kebudayaan. Contoh konkretnya apa? Semua hal yang berkaitan dengan budaya dan sistem nilai yang sudah lama hidup dalam masyarakat. Untuk mengakomodasi kedua agenda penelitian di atas, kata Daoed Joesoef (2006), diperlukan ruang sosial. Selengkapnya dia menulis:
Secara filosofis pembangunan dalam artian ruang sosial ini diformulasikan sebagai “Gerakan komunitas/subkomunitas” yang tak kunjung usai, selama proses mana komunitas atau subkomunitas yang bersangkutan menjadi lebih adil secara ekonomis dan politis, lebih akseptabel secara manusiawi bagi para warganya (2006: 440).
Begitulah keinginan manusia untuk tidak sakit dan menemukan kunci kebahagiaan menghadap berbagai halang rintang. Namun, keinginan itu fakta. Tak perlu diteliti lagi. Lantas apa yang perlu diteliti? Semua halang rintangnya, dari berbagai sudut dan pandangan. Menggunakan semua disiplin ilmu yang peka terhadapnya.
Akal sehat dan kejujuran di mana-mana saja sama. Hati dan perasaan manusia di mana-mana juga sama saja. Lalu, buat apa kita jauh-jauh mencari tema penelitian? Dari keinginan manusia untuk tidak sakit dan menemukan kunci kebahagiaan itulah kita bergerak meneliti. Kita meneliti tentang apa yang harus dilakukan manusia dan bagaimana mengimplementasikannya untuk mencapai kedua kondisi itu. Maka penelitian bergerak dari belakang ke depan.
Posisi Peneliti
Pembahasan tema penelitian di atas belumlah lengkap kalau tidak diikuti oleh pembahasan posisi penelitinya. Secara umum posisi peneliti akan menentukan tingkat daya guna penelitian. Tanpa kejelasan posisi peneliti, apa yang dilakukannya hanya usaha-usaha yang mandul saja. Mereka tidak akan sigap menyajikan apa yang harus dilakukan manusia agar tidak sakit dan menemukan kunci kebahagiaan. Lalu, di mana posisi peneliti?
Jawaban yang masuk akal adalah intelektual. Soal ini, Mohamad Sobary menulis:
….Intelektual itu pengakuan masyarakat akan komitmen, perilaku dan kebolehan seseorang dalam berolah pikir, sekaligus olah rasa dalam menanggapi realitas di sekitarnya (1994: 190).
Sementara itu, Felly Kama memaknai intelektual sebagai:
…..para pemikir yang tanpa henti mengambil sikap reflektif terhadap proses-proses sosial dan proses-proses mental kebudayaan, jika perlu termasuk merefleksikan sudut pandangnya, metodenya, paradigmanya sendiri dalam sebuah pergumulan tanpa henti (2002: 21)
Lalu apa yang bisa kita simpulkan dari kutipan di atas? Agaknya kita bisa mengatakan, intelektual akan selalu bertanya, gelisah dan terus berusaha menjawab segala teka-teki metafisik maupun sosial budaya untuk membuat manusia tidak sakit dan menemukan kunci kebahagiaan. Kesimpulan ini mengandung tiga prinsip yang perlu dimiliki peneliti, yakni bertanya, gelisah dan terus berusaha menjawab bertolak dari nilai-nilai yang diyakininya. Kelihatannya sederhana saja. Bahkan sudah dilakukan para peneliti.
Namun, belajar dari pengalaman yang lampau, prinsip yang ketiga sering kali tidak berjalan baik. Tidak jarang seorang peneliti menganggap tugasnya sudah selesai kalau sudah menulis laporan, menulis artikel di jurnal, dan hilirisasi penelitian. Dia lupa untuk memonitor apakah jawaban menjadi tidak sakit dan memperoleh kunci kebahagiaan sudah dimiliki masyarakat dan diimplementasikan. Dalam keadaan begini, penelitian hanya bermanfaat untuk penelitinya saja. Masyarakat tetap saja begitu-begitu saja, menjadi pelengkap penderita saja.
Demikianlah kira-kira sikap kita dalam menyambut era baru penelitian di Fisipol UGM. Dalam sikap itu sebenarnya terkandung juga prinsip yang pernah dianut Umar Kayam dalam meneliti. Yakni tidak terpaku pada metodologi, tapi lebih mengutamakan fenomena yang bisa diceritakan (Siregar, 1998). Semoga bermanfaat.
Rejodani, 9 Januari 2023
Referensi
Fisipol UGM. (2023). Call for Articles: Triple Disruption dan Transmisi Kekuasaan. Poster Harari, YN. (2018). Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Jakarta: Alvabet.
Joesoef, D. (2006). Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kama, F. (2002). “Kaum Intelektual dan Politik Praktis”. Dalam Respons, Jurnal Etika Sosial, Volume 7, Nomr 01-Juli 2002.
Sihotang, K. (2018). Filsafat Manusia: Jendela Menyingkap Humanisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Siregar, A. (1998). “UK adalah Media”. Dalam Aprinus Salam, editor, Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobary, M. (1994). Moralitas Kaum Pinggiran. Jakarta: Penerbit Mizan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!