Universitas Gadjah Mada
  • Article
    • Perubahan Iklim
    • Revolusi Digital
    • Pandemi
    • Brief Article
  • E-Book
  • Siniar
  • Video
  • Agenda
  • Berkontribusi
  • Tentang Megashift
  • Beranda
  • Karunia Haganta
  • Karunia Haganta
Arsip:

Karunia Haganta

Kurangi Anggaran, Rusak Lingkungan: Efisiensi Penuh Paradoks Ala Prabowo

brief article Thursday, 20 March 2025

Awal 2025, pemerintahan baru Prabowo Subianto telah membuat gebrakan baru dengan melakukan pemotongan anggaran besar-besaran. Kebijakan yang disebutnya “efisiensi” ini secara masif mengurangi anggaran berbagai lembaga negara yang dianggap pemborosan. Banyak yang mengeluhkan dampak langsung efisiensi ini, mulai dari pemecatan terhadap banyak tenaga honorer yang kerap berada di garis depan pelayanan, penurunan fasilitas kerja, sampai ancaman dihentikannya program-program bantuan pendidikan.

Namun, kritik terbesar bagi efisiensi ini sesungguhnya adalah kontradiksi pemerintahan Prabowo. Sejak awal, Prabowo membentuk kabinet yang dianggap tidak proporsional dengan banyaknya posisi dan jabatan yang diberikan (Sood, 2024). Kontradiksi ini makin terlihat dengan rencana Prabowo untuk mengalihkan dana pada program kontroversial Makan Bergizi Gratis (MBG), dan yang terbaru adalah lembaga kontroversial Danantara (Siswanto, 2025). read more

The Contradiction of Religious Moderation and Extractivism

brief article Monday, 10 February 2025

In the midst of the climate crisis, the role of religious organizations is increasingly crucial. Islamic religious organizations as the majority religion in Indonesia promote Green Islam (Jannah, 2024) as their commitment to the issue. However, this commitment is questioned by the ambivalent attitude of these religious organizations towards the climate crisis, especially because of the closeness of religious organizations with the government through the submission of Mining Licenses (IUP) to religious organizations such as NU and Muhammadiyah. read more

Sanitasi juga Hak Asasi bagi Disabilitas

brief article Monday, 11 November 2024

Sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Perlunya sanitasi yang baik berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Sebagai kebutuhan pokok, sanitasi harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Program penyediaan sanitasi harus menjunjung tinggi keadilan terutama soal keadilan akses. Bila diuraikan lebih lanjut, permasalahan sanitasi juga mencakup upaya pemenuhan kebutuhan air dan higienitas atau kerap disebut WASH (Water, Sanitation, and Hygiene). Namun perspektif teknikal ini tidak cukup untuk memahami kekusutan permasalahan penyediaan sanitasi yang berkeadilan tanpa kesenjangan.
Masalah utama yang amat sering muncul soal sanitasi adalah penyediaan infrastruktur sanitasi. Bahkan menurut data World Health Organization (WHO), 2 miliar orang di dunia masih belum memiliki fasilitas sanitasi dasar (WHO, 2019). Data dari UNICEF (2019) menyatakan bahwa hampir 25 juta penduduk Indonesia tidak menggunakan toilet. Kekurangan akses pada sanitasi tidak hanya membawa pada masalah kesehatan, tetapi masalah lainnya yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat, misalnya kerentanan perempuan terhadap kejahatan seksual (Fuadona, 2015). Pembangunan fisik sering kali tidak peka terhadap kondisi sosial budaya di tempat pembangunan tersebut dilakukan. Sebagai akibatnya, pembangunan fisik gagal menciptakan sanitasi berkeadilan atau bahkan ditolak.
Pemenuhan kebutuhan sanitasi juga amat berkaitan dengan krisis iklim yang makin terasa. Sebagai contoh, McFarlane (2023) menyebutkan kasus banjir akibat krisis iklim di Nairobi yang tidak hanya mempersulit akses terhadap sanitasi, tetapi juga diperparah oleh kondisi sanitasi dengan pengelolaan buruk sehingga membuat banjir menjadi penyebab persebaran penyakit. Ironisnya pembicaraan mengenai krisis iklim justru kerap tidak memedulikan mengenai sanitasi. Ulasan sistematis Satriani, Ilma, & Daniel (2022) terhadap riset mengenai sanitasi di Indonesia mengonfirmasi hal ini. Kebanyakan riset mengenai sanitasi fokus pada isu sosial, terutama perilaku masyarakat, sedangkan paling sedikit adalah mengenai higienitas dan pembiayaan. Namun krisis iklim maupun perubahan iklim bahkan sama sekali tidak muncul.
Di sini pentingnya pendekatan lintas sektoral seperti yang diajukan UNICEF. Dalam praktik pembangunan, komunikasi yang baik diperlukan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan tersebut pada masyarakat. Komunikasi yang dilakukan jangan sampai merendahkan atau mempermalukan masyarakat yang menjadi target pembangunan (Selamet, 2020). Barrington & Sindall (2018) menyarankan diakomodasinya saran dari pakar masyarakat lokal.
Akses air di Indonesia juga masih belum berkeadilan. Syafi’i dan Gayatri (2019) menunjukkan betapa peliknya permasalahan akses air. Persoalan akses air bukan hanya soal kondisi ekologis, tetapi juga politis. Sudah banyak konflik yang terjadi akibat perebutan sumber daya air. Seperti di Bali, Batu (Jawa Timur), Klaten (Jawa Tengah), Pandeglang (Banten) yang kebanyakan disebabkan adanya persaingan antara masyarakat dan pihak swasta yang dibantu negara. Masyarakat pada akhirnya menjadi pihak yang kalah dalam konflik air.
Persoalan sanitasi dan juga akses pada air tentu tidak hanya meminggirkan masyarakat miskin, tetapi juga mendorong kesenjangan pada kaum disabilitas. Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas 1975 memang telah memberikan titik awal terbukanya hak-hak penyandang disabilitas sebagai subjek dari deklarasi hak asasi manusia (HAM). Walau demikian, permasalahan terkait pemenuhan HAM disabilitas pada saat itu masih digambarkan sebagai model medis. Menurut Degener (2000) dalam Santoso dan Apsari (2017), hal tersebut membuat penanganan disabilitas bergantung pada jaminan sosial yang diberikan setiap negara dan bertujuan kuratif (menyembuhkan). Di sisi lain, perkembangan yang terlihat pada model disabilitas baru yang dibawa oleh International Classification of Impairments, Disabilities, and Handicaps (ICIDH) menjelaskan unsur-unsur disabilitas secara lebih komprehensif yang ditinjau dari keterbatasan fungsi organ tubuh, aktivitas atau partisipasi, dimensi lingkungan, dan faktor sosial. Dengan demikian, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai penyakit atau kondisi abnormal, melainkan lingkungan sekitarnya yang bermasalah saat tidak dapat menyediakan kesetaraan akses dan sistem yang inklusif (Rioux dan Carbert [2003] dalam Santoso dan Apsari [2017]).
Data dari SMERU Institute yang diolah dari Susenas 2018 mencatat 7.415.560 penduduk Indonesia berusia di atas dua tahun merupakan penyandang disabilitas. Jenis keterbatasan yang disandang juga beragam baik yang tunggal maupun yang menyandang lebih dari satu keterbatasan. Jenis keterbatasan tersebut di antaranya keterbatasan melihat, mendengar, berjalan, menggerakkan tangan/jari, mengingat, berbicara, dan mengurus diri, termasuk juga gangguan emosional (Hastuti, dkk, 2020). Halangan kaum disabilitas terhadap sanitasi dan akses air terbagi dua yakni teknikal dan sosial (Groce, dkk, 2011). Padahal PBB menyatakan hak atas air dan sanitasi sebagai hak asasi yang harus diperoleh semua orang.
Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang juga menyulitkan kaum disabilitas untuk mengakses air. Kaum disabilitas dengan pergerakan yang terbatas misalnya kesulitan mengakses air yang letaknya jauh dari tempat mereka (Groce, dkk, 2011, 618). Kondisi lain yang kerap ditemui penyandang disabilitas, terutama pengguna kursi roda, adalah sempitnya ruang gerak di toilet. Penyandang disabilitas yang menyandang kesulitan untuk bergerak membutuhkan ruang gerak yang luas dan juga beberapa sarana pendukung seperti handrail. Kondisi lantai yang licin juga berbahaya, tidak hanya bagi penyandang disabilitas, tetapi juga pengguna toilet non-disabilitas. Wastafel dengan ketinggian dan jarak yang menyulitkan untuk dijangkau oleh pengguna kursi roda juga perlu disesuaikan. Berbagai kesulitan yang dialami penyandang disabilitas ini juga terkadang kerap dirasakan oleh lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Kondisi ini juga membuat kaum disabilitas membutuhkan waktu lama untuk menggunakan fasilitas sanitasi dan mengakses air. Implikasinya adalah perasaan segan terhadap pengguna lainnya karena merasa menyulitkan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam pelayanan publik tanpa kesenjangan apapun. Peraturan Menteri PU No. 30/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Peraturan Menteri PUPR No. 14/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung menyatakan berbagai syarat toilet umum untuk penyandang disabilitas yang telah mencakup beberapa poin di atas. Namun rupanya peraturan tersebut masih belum cukup untuk memuluskan penerapannya. Lustiyati dan Rahmuniyati (2019, 113) yang meneliti sanitasi ramah disabilitas di sarana transportasi publik di Provinsi D.I. Yogyakarta mencatat salah satu persoalan adalah tidak adanya peraturan lain selain dua Peraturan Menteri di atas yang mengatur sanitasi bagi penyandang disabilitas, terutama Peraturan Daerah (Perda). Permenhub No. 48/2015 yang juga menjadi salah satu dasar penyediaan sanitasi ramah disabilitas masih fokus pada jumlah dan kondisi toilet, tetapi belum memperhitungkan aksesibilitas. Tidak hanya itu, bahkan penamaan “toilet difabel” menimbulkan masalah karena nama tersebut mencegah beberapa pihak untuk mengaksesnya karena label “difabel” pada toilet tersebut yang otomatis diberikan pada penggunanya. Penamaan seperti “kursi prioritas” yang disertai dengan penjelasan pihak-pihak yang termasuk prioritas yang paling berhak mengakses kursi tersebut lebih efektif karena mencegah terjadinya kesalahpahaman seperti di atas.
Persoalan WASH bagi penyandang disabilitas harus diselesaikan dengan pendekatan multi-perspektif. Penetapan regulasi yang berbasis HAM seperti UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat menjadi permulaan. Paradigma HAM ini menjadi kemajuan bila dibanding paradigma kesehatan yang sebelumnya digunakan karena paradigma kesehatan cenderung melihat penyandang disabilitas sebagai individu yang sakit dan perlu dikasihani (Hastuti, dkk, 2020, 7). Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan lainnya yang menyebutkan penyandang disabilitas dalam sektor tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan transportasi publik.
Namun pembangunan WASH tidak bisa hanya menekankan top-down atau bottom-up tetapi harus memadukan keduanya. Dari perspektif top-down, data yang akurat dan terintegrasi mengenai jumlah, jenis, dan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga pelaksanaan di tingkat bawahnya dapat dilaksanakan dengan lebih efektif karena data telah terhimpun. Adanya regulasi dapat memaksa berbagai pihak untuk menyediakan sarana ramah disabilitas, seperti sebagai syarat perizinan pendirian gedung. Dari bottom-up, pengelolaan air dan fasilitas sanitasi juga dapat diserahkan kepada pihak kolektif masyarakat yang turut dipantau oleh sekelompok ahli. Bakker (2010) dalam analisisnya mengenai krisis air mendorong pengakuan atas hak individu dan hak kolektif atas air. Ini karena suatu representasi dari tiap bagian masyarakat dalam suatu kolektif harus terus diawasi. Kondisi ini dapat berjalan dalam situasi yang demokratis dan desentralistik. Kerja sama dengan pakar juga diharapkan mampu membentuk pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable). read more

Dangdutin Aja: Dangdut, Viral, dan Hibriditas Media

brief article Monday, 23 September 2024

Merebaknya pandemi yang masuk ke Indonesia pada Maret 2020 direspon berbeda-beda. Salah satu respon yang terbilang unik datang dari kalangan seniman, terutama musisi. Banyak musisi menjadikan Covid-19 dan berbagai hal yang ramai setelah masuknya virus tersebut sebagai tema lagunya. Dari segi genre, fenomena ini muncul dari berbagai genre, baik rap, dangdut, bahkan musik religi. Motivasi dibuatnya lagu-lagu tersebut beragam, tidak hanya memanfaatkan momen untuk bermusik, tetapi juga mendoakan.

Sebenarnya fenomena lagu yang mengangkat kejadian yang sedang ramai atau fenomena sehari-hari bukanlah hal baru. Namun lagu-lagu dari genre dangdut memiliki ciri khas. Lagu dangdut tidak hanya menjadikan fenomena sehari-hari sebagai tema lagu, tetapi juga mengubah pemaknaan atas fenomena tersebut. Penyanyi koplo, Alvi Ananta, merilis lagu “Corona”, singkatan dari Comoditas Rondo Merana (Komunitas Janda Merana) (Kapanlagi.com, 2020). Adopsi istilah dan pemberian makna baru sudah kerap terjadi sebelumnya, misalnya Gegana, nama tim penjinak bom, dijadikan lagu dangdut yang merupakan singkatan Gelisah Galau Merana. Fenomena lain yang sempat dijadikan lagu dangdut misalnya viral “Om Telolet Om” dan masih banyak lagi.

Wallach (2017, 30-31) yang melakukan etnografi terhadap berbagai musik di Indonesia melihat dangdut memang eklektik. Namun, Wallach hanya melihat eklektisisme dari segi musiknya, bukan adopsi lagu dangdut atas berbagai fenomena atau istilah yang sedang ramai di masyarakat. Saya melihat bahwa adopsi lagu dangdut atas istilah atau fenomena yang sedang ramai merupakan gabungan dari eklektisisme dangdut, perkembangan teknologi informasi, terutama internet yang memungkinkan sesuatu viral, dan hibriditas berbagai media, tidak hanya daring, tetapi juga luring.

Eklektiknya Dangdut

Dangdut memang eklektik. Rhoma Irama bahkan menyebut dirinya amfibian, dengan maksud seseorang yang menyerap dan mengadopsi berbagai jenis musik. Perkembangan dangdut yang eklektik bahkan tidak bisa diperkirakan oleh Rhoma Irama sendiri saat dangdut koplo marak di masyarakat. Koplo merujuk pada gabungan dangdut dan musik jaipongan, tetapi juga kerap dihubungkan dengan unsur musik elektronik, yang dimainkan dengan cepat. Asal nama koplo berasal dari pil koplo, obat halusinogen yang beredar pada 1990-an (Weintraub, 2010, 216). Saat maraknya dangdut koplo, Rhoma Irama meminta agar dangdut dibedakan dengan musik koplo, karena koplo dapat menghancurkan reputasi dangdut (Weintraub, 2013, 161, 182). Fenomena serupa juga sebenarnya menimpa dangdut yang dianggap “kampungan”, tetapi tetap dipertahankan dan bahkan menjadi ciri khasnya.

Wallach (2017, 31) juga mencatat hal yang sama terhadap berbagai perkembangan dangdut, seperti dangdut disko, dangdut reggae, dan dangdut remix yang walaupun berusaha trendi, tetapi justru dianggap lebih rendah. Justru pandangan rendah ini yang menjadi celah bagi dangdut untuk melakukan adopsi terhadap berbagai fenomena dan istilah yang sedang marak di masyarakat. Dengan statusnya yang rendah, dangdut dapat bebas mengambil berbagai unsur dari berbagai sumber, termasuk fenomena sehari-hari dan mudah ditemui. Kondisi ini semakin terlihat dalam dangdut koplo. Contohnya adalah asolole yang mungkin berasal dari asshole dalam bahasa Inggris yang kerap digunakan dalam skena koplo (Weintraub, 2013, 176). Asolole tidak hanya menjadi contoh dari adopsi dangdut terhadap istilah populer, tetapi juga kemampuan dangdut membentuk makna baru. Asolole dapat diartikan sebagai singkatan dari “Asosiasi Lonte Lebay” tetapi dapat divariasikan sebagai “Asli lo lebay” atau “Assalamualaikum dan selamat sore” (Weintraub, 2013, 176).

Dangdut dan Viralitas

Namun perkembangan kebiasaan mengangkat fenomena atau istilah populer dan pemaknaan baru atasnya menjadi semakin masif di tengah perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial. Postill (2014, 55) melihat media sosial sebagai media viral. Media sosial didesain dan digunakan secara aktif untuk menyebarkan sesuatu lewat berbagai rutinitas seperti like, retweet, dan share. Dangdut bergerak dengan mengadopsi berbagai hal viral.

Ada dua kelebihan dangdut yang membuatnya dapat bergerak bebas memanfaatkan fenomena viralitas ini. Pertama, dangdut tidak hanya mengadopsi sesuatu yang viral, tetapi memberikan makna baru terhadapnya. Kedua, eklektisisme dangdut bukan hanya menandakan bahwa dangdut mengadopsi ragam genre musik, tetapi dangdut merupakan bagian dari sesuatu yang dapat diadopsi itu sendiri, terutama oleh media-media seperti video yang banyak beredar di media sosial. Ini bisa terjadi karena pemaknaan baru yang dangdut ciptakan serta musiknya yang memang dibuat untuk mengiringi keseharian. Pemaknaan khas dari lagu dangdut ini juga merupakan ciri khas lagu dangdut yang berisi berbagai kontradiksi, seperti lirik sedih dan joget bahagia (Weintraub, 2010, 146). Dengan pemaknaan baru ini, lagu dangdut berpotensi menjadi viral baru dengan mengadopsi viral yang sudah ada. Ini misalnya lagu “Aku Rapopo” dari Julia Perez. Dalam Julia Perez, ungkapan Aku Rapopo yang berasal dari bahasa Jawa ini dicampurkan dengan bahasa Inggris dan dimaknai sebagai ungkapan kekecewaan seorang istri terhadap kelakuan suaminya yang main perempuan. Lagu “Aku Rapopo” ini akhirnya viral juga, mengikuti viralnya ungkapan Aku Rapopo yang awalnya banyak digunakan orang lajang.

Lanskap media juga memungkinkan viral tersebut tidak hanya terjadi di dunia virtual dan media sosial. Chadwick (2013, 2017, dalam Postill, 2018: 8) menyebut lanskap media sekarang sebagai sistem media hibrid yang merupakan gabungan antara media lama dan media baru, termasuk media daring dan luring. Sistem media hibrid ini amat terlihat dalam berbagai media kontemporer di Indonesia, terutama media elektronik. Tayangan televisi banyak yang menyiarkan kembali berbagai hal viral dari internet, seperti unggahan Instagram, cuitan Twitter, video YouTube, atau video TikTok. Ini memungkinkan lapisan masyarakat yang tidak memiliki media sosial tetap dapat mengikuti berbagai hal yang sedang viral di media sosial.

Dalam media sosial itu sendiri, terjadi interaksi antar berbagai platform, seperti mengunggah video YouTube dan TikTok di Instagram dan Twitter, mengunggah tangkapan layar dari Twitter dan Instagram ke media sosial lain, dan masih banyak pola interaksi antar platform lainnya. Tidak hanya itu, suatu konten, seperti misalnya video TikTok, juga menggunakan media lain seperti musik dangdut untuk mengiringinya. Berbagai lagu dangdut bahkan viral setelah digunakan dalam tren viral di TikTok atau sebagai pengiringnya.

Viral tidak hanya mengandalkan satu platform tertentu, tetapi media sosial dan bahkan media luring seperti televisi sudah saling terintegrasi turut menyebarkan sesuatu yang viral. Lagu dangdut akhirnya berputar dari memanfaatkan sesuatu yang viral di masyarakat, terutama media sosial, kembali lagi kepada masyarakat luas, bahkan menjangkau lapisan masyarakat yang pada awalnya belum mengetahui hal viral tersebut. Belum lagi berbagai infrastruktur suara lainnya, seperti angkutan kota (angkot) atau bis yang kerap memutar lagu dangdut (Wallach, 2017).

Dangdut, seperti diungkapkan Wallach (2017, 31) mempertahankan ciri khasnya yang eklektik. Sebagai budaya yang kerap dianggap rendah, dangdut bebas mengeksplorasi termasuk dengan mengambil berbagai unsur di luar dangdut. Dalam realitas viral (Postill, 2014), eklektisisme dangdut bekerja dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berpusat pada viral dan sudah saling terintegrasi antar platform dan bahkan media daring dan luring.

Referensi

Kapanlagi.com. (2020). 16 Seleb yang Lagunya Bertema Virus Corona, Ada Bimbo Sampai Rhoma Irama! Kapanlagi.com. Diakses dari https://m.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/16-seleb-yang-lagunya-bertema-virus-corona-ada-bimbo-sampai-rhoma-irama-2f7d11.html

Postill, John. (2014). Democracy in an Age of Viral Reality: A Media Epidemiography of Spain’s Indignados Movement. Ethnography, 15(1), 51-69.

Postill, John. 2018. The Rise of Nerd Politics: Digital Activism and Political Change. London: Pluto Press.

Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan & Keberagaman Aliran Lagu. Depok: Komunitas Bambu.

Weintraub, Andrew. (2010). Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press.

Weintraub, Andrew. (2013). The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia. Asian Music, 44(2), 160-194.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/10/Megashift__09-04.pdf”].

Universitas Gadjah Mada

© Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY