Artificial Intelligence (AI) terus berkembang. Teknologi ini mulai digunakan di kampus di seluruh dunia untuk berbagai hal, seperti membuat materi kuliah, membuat soal evaluasi, dan menilai tugas mahasiswa. Apakah, bagaimanapun, adopsi AI di ruang kelas merupakan kemajuan? Apakah benar-benar menciptakan perbedaan moral baru antara pendidik dan siswa?
Northeastern University di Massachusetts, Amerika Serikat, memiliki kasus yang menarik. Seorang siswa bernama Ella Stapleton menuntut pengembalian uang kuliah sebesar $8.000 setelah mengetahui bahwa gurunya menggunakan ChatGPT untuk membuat materi pelajaran (Desk, 2025). Ironisnya, siswa dilarang menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas di kelas yang sama. Stapleton menggambarkan ini sebagai jenis “kemunafikan institusional” yang merusak kredibilitas dan kejujuran pendidikan tinggi.