QRIS di Pusaran Global: Kedaulatan, Demokrasi, atau Integrasi Global?
Siapa sangka sebuah kode QR bisa mengguncang sistem keuangan global? Transformasi digital menciptakan medan baru dalam perebutan kekuasaan global. Di tengah dominasi sistem pembayaran oleh negara-negara Utara seperti Visa dan Mastercard, negara-negara Selatan mulai menyadari bahwa dominasi infrastruktur digital bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal kedaulatan. Penting untuk diingat bahwa sistem keuangan global seperti Visa dan Mastercard bukanlah sistem yang netral. Mereka adalah bagian dari infrastruktur global yang dibangun pasca Perang Dunia II sebagai ekspresi dari dominasi politik-ekonomi negara-negara Barat. Yuana dan Putri (2021) berargumen bahwa dominasi platform digital global bukan sekadar soal teknologi, tetapi bagian dari relasi kekuasaan global yang timpang. QRIS tidak bisa dipisahkan dari konteks ini. Ia adalah upaya Indonesia untuk keluar dari ketergantungan struktural terhadap sistem pembayaran milik Utara. Melalui penguatan sistem domestik, Indonesia berupaya merebut kendali atas tiga elemen utama yang selama ini dikuasai oleh infrastruktur keuangan global Visa dan Mastercard: arus transaksi, biaya layanan dan data pengguna.
Sejak diluncurkan oleh Bank Indonesia pada 2019, QRIS telah merevolusi sistem pembayaran digital nasional. Awalnya, QRIS bertujuan mengatasi fragmentasi sistem pembayaran QR yang tidak kompatibel satu sama lain. Dalam waktu singkat, sistem ini berhasil mengintegrasikan berbagai penyedia layanan dan mendorong efisiensi serta inklusi keuangan (Shofihawa, 2025). Kini QRIS diperluas lintas negara lewat kerja sama dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang memungkinkan transaksi tanpa bergantung pada Visa atau Mastercard. Langkah ini memperkuat integrasi pembayaran digital kawasan dan menciptakan sistem keuangan regional alternatif yang lebih inklusif.
Keberhasilan QRIS justru memicu reaksi keras dari Amerika Serikat. Dalam laporan resmi United States Trade Representative (USTR) yang dirilis pada Maret 2025 lalu, QRIS dan GPN disebut sebagai ancaman terhadap dominasi korporasi pembayaran global. Bagi Amerika Serikat, standar nasional seperti QRIS dinilai menghambat ekspansi perusahaan pembayaran lintas negara yang selama ini menguasai pasar global. Namun, kritik ini bukan semata soal perdagangan atau persaingan pasar. Di baliknya, ada pertarungan yang lebih dalam tentang siapa yang menguasai infrastruktur keuangan digital dunia. Visa dan Mastercard mendominasi karena menjadi perantara utama transaksi lintas negara dengan biaya tinggi (1,5%–3,5%) dan kendali atas data. QRIS dan GPN mengganggu model ini dengan membangun jalur pembayaran domestik. Dengan biaya lebih rendah (0,3%–0,7%), integrasi antar aplikasi lokal, dan kemandirian pengelolaan data, sistem ini menjadi alternatif inklusif yang mempersempit ruang dominasi dua raksasa asal Amerika Serikat.
Pangsa pasar Visa dan Mastercard di Indonesia memang mulai tergerus dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2020, jumlah transaksi QRIS melonjak signifikan, dari 124 juta menjadi lebih dari 6 miliar transaksi pada 2024. Menurut data Statista, pangsa pasar Visa menurun dari 57,7% pada 2014 menjadi 38,7% pada 2022, dan Mastercard turun dari 26,3% menjadi 24% (Kontan, 2024). Di era saat ini, sistem pembayaran bukan lagi hanya alat transaksi. Ia menjadi kunci untuk mengendalikan data, mengarahkan arus uang, bahkan menentukan siapa yang memegang kedaulatan digital. Ironisnya, negara yang selama ini menggaungkan pasar bebas justru keberatan ketika negara berkembang mencoba berdiri di atas kaki sendiri.
Untuk memahami posisi Indonesia di tengah tekanan global terhadap QRIS dan GPN, kita bisa merujuk pada konsep political trilemma dari Dani Rodrik (2011) yang menjelaskan bahwa negara tidak bisa secara bersamaan mempertahankan tiga hal sekaligus: demokrasi, kedaulatan nasional, dan integrasi global. Pilihan kebijakan yang diambil Indonesia melalui penguatan sistem pembayaran lokal menunjukkan bahwa negara sedang memprioritaskan kedaulatan nasional dan demokrasi ekonomi, sekalipun harus menghadapi konsekuensi meningkatnya tekanan dari sistem pasar global yang selama ini menguntungkan aktor-aktor dominan dari negara-negara Utara, seperti Amerika Serikat.
Pilihan ini bukan tanpa dasar. Jika Indonesia ingin menjaga kendali atas sistem keuangannya, termasuk soal data, biaya transaksi, dan distribusi nilai, maka negara memang harus berani mengambil jarak dari integrasi global yang tak setara. QRIS hadir bukan untuk menutup diri, tetapi untuk membangun jalur alternatif yang sesuai dengan kebutuhan dan struktur domestik. Dalam hal ini, negara tidak lagi sekadar menjadi fasilitator pasar seperti dalam kerangka logika ekonomi liberal, tetapi menjadi aktor utama resistensi digital yang sadar bahwa infrastruktur keuangan adalah medan kekuasaan yang tak netral.
Langkah QRIS juga menunjukkan bahwa pilihan atas kedaulatan tidak harus membawa negara ke arah proteksionisme tertutup. Alih-alih, Indonesia justru memperluas kolaborasi regional melalui integrasi QRIS lintas negara Asia Tenggara. Ini menciptakan semacam regionalisasi negara-negara Selatan, di mana solidaritas kawasan dibangun di atas fondasi teknologi yang dikendalikan sendiri, bukan diserahkan pada sistem pembayaran Barat. Di sinilah nilai strategis QRIS menjadi proyek politik Global South untuk mengambil kembali kendali atas masa depan ekonominya. Seperti yang disebutkan oleh Yuana dan Putri (2021), digital platform di negara-negara Selatan bisa menjadi strategi “outwitting” negara Utara untuk mengungguli kompetisi ekonomi.
Dalam tekanan trilemma globalisasi, QRIS menunjukkan bahwa kedaulatan masih bisa dipertahankan. Bukan dengan isolasi, tetapi dengan berani memilih jalur sendiri dalam keterhubungan global.
References
Hayuningrum Citra Maharsi. (2024). The Growth of Digital Payments in Indonesia: Harnessing Its Influence for SMEs and Indonesia’s Competitiveness. Global South Review, 6(2), 54–54. https://doi.org/10.22146/globalsouth.95934
Isaac, J. (2025). U.S.’s attack on RI’s payment system sparks pushback over sovereignty, innovation. Https://Indonesiabusinesspost.com/. https://indonesiabusinesspost.com/4151/markets-and-finance/u-s-s-attack-on-ri-s-payment-system-sparks-pushback-over-sovereignty-innovation
Kontan. (2025, April 20). Visa-Mastercard Terjepit Aturan GPN dan QRIS, AS Soroti Hambatan Dagang. Kontan.co.id; Kontan. https://keuangan.kontan.co.id/news/visa-mastercard-terjepit-aturan-gpn-dan-qris-as-soroti-hambatan-dagang
Rizal, T. (2025). US Criticism of QRIS Baseless, Says Indonesian Economist. Jakarta Globe. https://jakartaglobe.id/business/us-criticism-of-qris-baseless-says-indonesian-economist
Rodrik, D. (2011). The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy. W.W. Norton & Company.
Shofihawa. (2025, April 23). QRIS Bentuk Kedaulatan Digital Indonesia, Bukan Hambatan Perdagangan Global – Berita – Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis. https://feb.ugm.ac.id/id/berita/13233-qris-bentuk-kedaulatan-digital-indonesia-bukan-hambatan-perdagangan-global
United States Trade Representative. (2025). FOREIGN TRADE BARRIERS of the President of the United States on the Trade Agreements Program UNITED STATES TRADE REPRESENTATIVE. United States Trade Representative. https://ustr.gov/sites/default/files/files/Press/Reports/2025NTE.pdf
Utami, B. (2024). The Impact of the QRIS Payment System on the Digital Economy Development. Jurnal Ekonomi Manajemen Dan Bisnis, 1(3), 141–148. https://doi.org/10.62017/jemb
Yuana, S. L., & Putri, T. E. (2021). Ekonomi-politik digital platform: Agenda penelitian dan tantangan bagi Global South. Dalam L. Hakim, M. Sugiono, & M. Mas’oed (Ed.), The Global South: Refleksi dan visi studi hubungan internasional (hlm. 67-83).
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!