Pandemi: Tantangan Penyelenggaraan Pelayanan Kesejahteraan Sosial

,

Pada awal tahun 2020, Indonesia menetapkan penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. COVID-19 mendorong disrupsi serius dalam praktik pelayanan kesejahteraan sosial bagi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).

Disrupsi dalam penyelenggaran pelayanan kesejahteraan sosial terjadi dalam pelayanan adopsi anak dan penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Pelayanan adopsi anak memerlukan waktu pelayanan yang cukup lama dan melibatkan multilevel stakeholders. Pandemi kemudian memperpanjang proses adopsi anak yang otomatis merugikan masyarakat. Sedangkan pada penanganan ODGJ, pelayanan kesejahteraan sosial mengalami disrupsi karena pemberlakuan PPKM. Penanganan ODGJ di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rehabilitasi Sosial menjadi lebih selektif dalam menerima klien, bahkan sampai menutup diri dari penerimaan klien untuk sementara waktu karena ketakutan terjangkit virus. Penanganan ODGJ terpapar COVID-19 tentu saja memerlukan tenaga ekstra daripada penanganannya dalam kondisi normal, mengingat beratnya penanganan ODGJ yang hilang kendali.

Pemerintah perlu melakukan adaptasi dalam menghadapi disrupsi di penyelenggaraan kesejahteraan sosial, terutama dalam kaitannya dengan munculnya bencana nasional. Memanfaatkan teknologi informasi sehingga beberapa tahapan dalam proses adopsi anak dapat dilakukan secara daring dapat memangkas waktu tempuh pelegalan hak asuh anak. Pemerintah Provinsi atau Pusat bisa memberlakukan pelimpahan kewenangan bagi kabupaten/kota untuk beberapa tahapan agar dapat memangkas panjangnya birokrasi. Pemerintah kabupaten/kota juga hendaknya didorong untuk memiliki layanan kejiwaan sendiri agar mampu secara mandiri menangani kasus ODGJ tanpa menunggu ketersediaan RSJ maupun UPT milik Pemerintah Provinsi.

Disrupsi Pelayanan Adopsi Anak

Salah satu pelayanan kesejahteraan sosial yang mengalami disrupsi adalah pelayanan adopsi anak. Banyak anak yang mengalami keterpisahan dengan orang tua atau pengasuh di masa pandemi. Keterpisahan ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: secara aksidental dan secara sadar (Subardhini, 2021). Banyak anak yang mendadak atau secara aksidental tidak memiliki orang tua dikarenakan orang tuanya meninggal akibat COVID-19. Anak dalam kasus ini memerlukan hak pengasuhan yang diupayakan dari keluarga terdekat terlebih dahulu dan kondisi terburuknya, anak dititipkan ke Lembaga Kesejahteraan Anak (LKSA) atau panti asuhan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan adopsi anak. Sayangnya, proses adopsi anak memerlukan waktu yang lama. Dalam situasi normal, proses adopsi bisa memakan waktu 6-12 bulan, bahkan bisa lebih dari itu. Proses adopsi memang lama, bukan berarti prosesnya sulit.

Proses adopsi anak bisa dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap permohonan izin pengangkatan anak; tahap laporan izin pengasuhan anak; tahap pengesahan izin pengangkatan anak di pengadilan (baik Pengadilan Negeri, maupun Pengadilan Agama); terakhir tahap pemberitahuan tentang izin pengangkatan anak kepada pihak-pihak terkait (Deseanah & Bey, 2015). Calon Orang Tua Angkat (COTA) mengajukan permohonan dan melengkapi persyaratan pengangkatan anak di dinas sosial setempat. Kemudian akan dilakukan serangkaian kunjungan pada COTA oleh Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) untuk mendapatkan laporan sosial kelayakan COTA dan laporan perkembangan anak selama dalam masa asuhan COTA. Laporan-laporan tersebut yang nantinya menjadi dasar pengambilan keputusan dikabulkannya permohonan pengangkatan anak pada sidang Tim PIPA. Keanggotaan Tim PIPA ini berasal dari beberapa instansi di level provinsi.

Pada masa pandemi, waktu yang diperlukan menjadi bertambah panjang. Selain itu, stakeholder yang terlibat pada adopsi antar Warga Negara Indonesia saja cukup banyak, mulai dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota, Dinas Sosial Provinsi, hingga Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, Dinas Sosial setempat, di mana COTA tinggal, hanya berperan sebagai pengumpul data dan persyaratan pengangkatan dari COTA, sedangkan penerbitan Surat Keputusan Pengangkatan Anak menjadi kewenangan Kepala Dinas Provinsi sebagai hasil dari sidang Tim PIPA. Waktu yang dibutuhkan dari pengajuan permohonan pengangkatan anak oleh COTA ke dinas sosial setempat hingga kunjungan pertama yang dilakukan oleh pihak provinsi atau Tim PIPA mencapai 1-3 bulan dalam kondisi normal, di mana pandemi tentu saja lebih panjang. Masih terdapat kunjungan kedua dan ketiga, yang minimal masing-masing berjarak 3-6 bulan.

Di masa pandemi, kunjungan-kunjungan tersebut terhalang dengan peraturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Selain itu, tahapan tersebut tidak mendapatkan diskresi dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Provinsi agar sekiranya dapat dilakukan oleh Dinas Sosial setempat atau menggunakan metode daring guna memangkas birokrasi yang panjang. Dengan kondisi tersebut, penumpukan permohonan pengangkatan anak menjadi lazim di tingkat kabupaten/kota pada masa pandemi.

Metode daring kiranya tidak dapat menggantikan beberapa kegiatan yang biasanya dilaksanakan secara luring. Pada kasus pelayanan adopsi anak, diperlukan kejelasan atas kondisi riil COTA dan calon anak. Formula teknologi informasi dan komunikasi seperti apa yang mampu menyampaikan keadaan COTA dan calon anak sekiranya belum ditemukan, sehingga Tim PIPA enggan untuk menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara daring dalam proses kunjungan ke rumah COTA. Kunjungan tersebut bersifat sangat penting, mengingat hasil kunjungan digunakan sebagai bahan pertimbangan pengangkatan anak. Itu berarti, menentukan nasib anak ke depannya. Terlalu riskan menggantungkan nasib seorang anak kepada teknologi komunikasi dan informasi.

Metode daring memang dapat digunakan untuk mengurangi biaya dan mempersingkat waktu pelayanan tetapi tidak mampu memotret kondisi riil COTA. Pada saat visitasi rumah secara daring, dimungkinkan COTA berbuat curang dengan memalsukan kondisi kelayakan COTA dan perkembangan calon anak asuh yang bukan sesungguhnya. Oleh karena itu, menurut penulis, penggunaan metode daring pada tahap kunjungan rumah boleh dilaksanakan jika terdapat pendampingan dan pengawasan ketat dari Dinas Sosial setempat sehingga meminimalisir tindakan kecurangan COTA.

Disrupsi Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Selain penumpukan kasus pengajuan pengangkatan anak, kasus penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) pada masa pandemi juga mengalami penumpukan. Setelah mendapatkan perawatan dari pusat kesehatan, pasien ODGJ bisa mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rehabilitasi Sosial atau panti swasta yang menangani ODGJ. Di masa pandemi, tidak semua rumah sakit jiwa dan UPT Rehabilitasi Sosial – baik milik negeri maupun swasta – membuka pelayanan karena takut pasien di dalam rumah sakit atau panti tertular virus COVID-19.

Rumah sakit jiwa menerapkan triase ICU, di mana usia, tingkat keparahan penyakit, status fungsional awal, bangsal awal, ketersediaan tempat tidur, larangan preferensi pasien, ketersediaan psikiater panggilan, hingga kesiapan mental perawat dalam menangani pasien dengan penyakit mental menjadi pertimbangan seorang pasien ODGJ diterima (Kurniawan et al., 2022). Perawat bangsal pun harus menangani pasien ODGJ menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) level 3 yang membuat terbatasnya gerak cepat perawat dalam penanganan pasien yang hilang kendali atau mengamuk (Hamsanie et al., 2021). Kesimpulannya, pasien dengan gangguan jiwa memerlukan perlakuan khusus dalam penanganannya di rumah sakit pada masa pandemi.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi rumah sakit jiwa, kondisi Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang memberikan pelayanan rehabilitasi sosial pasca pengobatan RSJ bagi ODGJ juga mengalami kepanikan dalam penanganan klien pada masa pandemi. Kondisi penuhnya kuota pelayanan di UPT sudah terjadi sebelum pandemi, kondisi ini menyebabkan penumpukan klien di Dinas Sosial setempat. Kondisi ini diperburuk dengan pandemi yang otomatis membuat UPT menutup diri dari klien tambahan karena mencegah penularan virus di dalam UPT. Sama seperti perawat, pegawai UPT tidak melaksanakan bekerja dari rumah dimasa pandemi, tetapi tidak menerima insentif penanganan COVID-19 seperti perawat atau tenaga kesehatan yang menangani pasien terjangkit COVID-19.

Dampak lain dari pembatasan pelayanan Rumah Sakit Jiwa dan UPT Rehabilitasi Sosial adalah pemasungan terhadap ODGJ yang kondisinya jauh dari stabil. Bebas pasung menjadi target nasional hingga kabupaten/kota dari tahun ke tahun. Ketika pandemi melanda, agenda-agenda kegiatan bebas pasung menjadi kendala. Keterbatasan mobilitas petugas dan masyarakat menjadi faktor utama penghambat. Kemudian masyarakat yang memiliki anggota keluarga ODGJ dengan kondisi tidak stabil memilih untuk melakukan pemasungan karena alasan keamanan dan memang kurangnya kesadaran atas tidak diperbolehkannya tindakan pemasungan.

Ketika pasien hilang kendali, keluarga enggan untuk melakukan pemeriksaan ke rumah sakit karena takut terjangkit virus. Petugas atau relawan sosial yang ruang gerak saat pandemi juga terbatas, tidak mampu mendampingi keluarga dengan ODGJ secara intensif. Tentu saja hal ini mendorong keluarga untuk bertindak praktis melakukan pemasungan. Penanganan korban pasung memerlukan kehati-hatian dalam melangkah. Seperti apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.  Demi menyukseskan target bebas pasung pada tahun 2024, Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, tetap menjalankan agenda-agenda kegiatan bebas pasung di masa pandemi.

Pandemi sempat membuat penanganan bebas pasung terhambat di Jawa Timur. Namun demikian, Provinsi Jawa Timur melalui Rumah Sakit Jiwa Menur melakukan inovasi Multi Level Manajemen (MLM) Pasung dalam penanganan bebas pasung saat pandemi. MLM Pasung merupakan strategi penanganan pasung berjenjang antar pemangku kepentingan baik di instansi level provinsi, kabupaten, kecamatan sampai tingkat desa dan masyarakat. Kemudian pemangku kepentingan bersinergi dan berkolaborasi menangani korban pasung, mulai dari kegiatan promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitasinya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota bertindak sebagai jembatan antara korban pasung dan dunia medis, khususnya RSJ Menur di Surabaya. Penanganan pasung saat pandemi dilaksanakan dengan mengkondisikan pasien sedemikian rupa di rumah dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan sebelum dipindahkan ke RSJ Menur untuk mendapatkan perawatan intensif di bangsal tersendiri yang telah dikondisikan bebas dari Coronavirus Disease 2019. Langkah ini telah dilaksanakan oleh beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur, seperti Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Magetan sepanjang tahun 2021-2022 saat pandemi berlangsung.

Penutup

Bidang pelayanan sosial telah sedikit banyak mulai beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Lembaga pemerintah, swasta maupun nirlaba yang bergerak di bidang sosial telah memanfaatkan digital platform untuk penggalangan dana, penyebaran informasi, dan pemberian konseling daring. Profesi Pekerjaan Sosial sebagai salah satu sumber daya manusia di bidang sosial telah melakukan transformasi pelayanan sosial, seperti: kampanye sosial dan konseling bagi para penerima manfaat, sehingga produk sosial yang diciptakan dapat tersebar lebih luas dan lebih cepat tanpa batasan ruang dan waktu (Santoso, et al., 2020).

Belajar dari pandemi, mengadaptasi metode daring dalam pelayanan sosial menjadi lebih relevan dilaksanakan nantinya. Pada pelayanan adopsi anak misalnya, tahapan kunjungan oleh Tim PIPA dapat dilaksanakan secara daring dengan syarat COTA didampingi langsung oleh petugas Dinas Sosial setempat. Kunjungan yang dilaksanakan dengan daring ini mempersingkat waktu, pelayanan tidak perlu tertunda jika terjadi PPKM lagi, dan juga menghemat biaya perjalanan dinas petugas.

Pandemi menjadi titik pacu bidang sosial untuk bertransformasi dalam intervensinya terhadap kliennya atau PPKS. Bagaimana menyederhanakan birokrasi yang panjang dan waktu yang ditetapkan adalah tantangannya. Penyederhanaan birokrasi melalui pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah menjadi jawaban dalam memutus rantai birokrasi yang panjang pada pelayanan kesejahteraan sosial. Pada penanganan ODGJ, hendaknya Pemerintah Kabupaten/Kota didorong untuk bisa menyelenggarakan pelayanan kejiwaan sendiri. Dengan demikian penanganan ODGJ berhenti di level daerah, tidak harus bergantung pada ketersediaan pelayanan di provinsi. Terobosan atau inovasi dibidang pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana disampaikan menjadi penting dilaksanakan guna mewujudkan pelayanan kesejahteraan sosial yang lebih tangguh atas kejadian luar biasa atau dalam masa kedaruratan, mengingat urusan sosial menjadi sektor kritikal dalam pelayanan publik.

Referensi

Deseanah, E., & Bey, F. (2015). Pelaksanaan Pengangkatan Serta Perlindungan Anak Di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(1), 22–31. https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/1342

Hamsanie, M., Ilmi, B., & Syafwani, M. (2021). Pengalaman Perawat Merawat Pasien ODGJ dengan COVID-19 di RSJ Sambang Lihum. Jurnal Health Sains, 2(1996), 6.

Kurniawan, Hendrawati, Khoirunnisa, Afifah, A. N., Yuliani, L., & Mulyahati, U. R. (2022). Manajemen Kesehatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang Terinfeksi COVID-19: Scoping Review. Jurna Keperawatan, 14(S2), 383–394.

Santoso, M. B., Irfan, M., & Nurwati, N. (2020). Transformasi Praktik Pekerjaan Sosial Menuju Masyarakat 5.0. Sosio Informa, 6(2). https://doi.org/10.33007/inf.v6i2.2383

Subardhini, M. (2021). KETERPISAHAN ANAK DARI ORANG TUA ATAU PENGASUH PADA MASA PANDEMI COVID-19. Sosio Informa, 7(02), 127–135.

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.