Meninjau Dimensi Moralitas dalam Artificial Intelligence: Haruskah Manusia Mengorbankan Esensi Kemanusiaan untuk Membangun Peradaban?

,

Sudah tidak diragukan lagi bahwa Artificial Intelligence (AI) merupakan temuan paling penting dalam sejarah peradaban manusia abad ini. Teknologi AI mengalami perkembangan yang sangat signifikan, hingga mencapai titik di mana sistem dan algoritmanya mulai memainkan peranan yang semakin vital dalam proses-proses pengambilan keputusan yang sarat nilai bagi masyarakat (Taeihagh, 2021). Terlepas dari potensi manfaat AI untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan, evolusinya yang sangat radikal dalam beberapa dekade belakangan memunculkan banyak diskusi yang berkaitan dengan dimensi moralitas. Kemampuan teknologi AI untuk meniru dan bahkan melampui kecerdasan natural berpotensi mengaburkan batasan eksistensi umat manusia (Li, 2021), sehingga isu mengenai dimensi moralitas ini semakin penting untuk didiskusikan guna memastikan bahwa pembangunan teknologi AI sebagai sebuah machine learning tidak membahayakan manusia sebagai makhluk moral (Bostrom & Yudkowsky, 2014). Berkaitan aspek moralitas, penulis memahami bahwa AI setidaknya telah menciptakan disrupsi terhadap konsepsi dominan terkait manusia, karena: (1) AI memberikan ancaman nyata terhadap esensi kemanusiaan yang didefinisikan dari monopoli manusia atas kesadaran diri dan aspek relasional; (2) integrasi AI akan mengikis kebebasan dan keagensian manusia; dan (3) AI memiliki keterbatasan akuntabilitas yang bisa menghilangkan batas-batas moralitas.  

AI, Kemanusiaan, Kebebasan, & Akuntabilitas

Pesatnya perkembangan AI membawa tantangan serius terhadap esensi ‘kemanusiaan’ itu sendiri. Manusia tidak hanya didefinisikan dari keberadaannya secara biologis, tapi juga kompleksitas pemikirannya. Menurut Li (2021), manusia memiliki apa yang disebut dengan self-consiousness – kesadaran diri yang menggerakkan manusia, yang seringkali tidak didasarkan pada rasionalitas. Dengan demikian, manusia tidak bisa serta merta dikategorikan sebagai rational beings, karena tindakan dan keputusannya bisa jadi merupakan hasil dari proses emosional yang melibatkan perasaan dan empati. Hal inilah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan mesin. Ketika mesin menggunakan proses kognitif yang logis, manusia menjalani proses yang lebih kompleks, dengan tidak hanya melibatkan aspek kognitif, tapi juga emosi, motivasi, identitas, dan relasi sosial (Ponciano dkk., 2014) untuk mencapai sebuah keputusan.

Akan tetapi, ciri khas manusia ini terlihat mulai kabur seiring dengan semakin cerdasnya teknologi AI. Pada tahun 2019, para ilmuwan di Universitas Columbia menemukan bahwa beberapa teknologi AI telah memiliki kesadaran diri (Bodkin, 2019). Temuan ini tentunya menjadi sebuah terobosan terhadap kepercayaan lama terkait monopoli manusia atas self-consciousness. Pudarnya garis yang menjadi titik batas antara manusia dan mesin bukan lagi menjadi sebuah kemungkinan di masa mendatang; prosesnya bahkan sudah jelas terlihat di era sekarang (Al-Amoudi, 2022). Sebagai contoh, beberapa proses demokrasi besar, termasuk pemilihan presiden di Amerika Serikat atau keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, dipengaruhi oleh bot berteknologi AI dengan kemampuan untuk menulis opini politik yang benar-benar bisa mengubah persepsi masyarakat (Islam, 2021). AI semakin terintegrasi dalam setiap lini kehidupan manusia; membantu proses pengambilan keputusan dari hal-hal sederhana, seperti ingin mendengarkan lagu apa, hingga ke level strategis di berbagai perusahaan dan pemerintahan. Keberadaan AI lambat laun mulai membentuk perilaku masyarakat dan fenomena ini tentunya tidak hanya membuat manusia semakin mempertanyakan esensi kemanusiaanya. Dalam jangka panjang, dengan laju yang sedemikian cepat, teknologi AI berpotensi untuk mendehumanisasi penciptanya.

Menurut Al-Moudi (2022), AI dapat membuat manusia menjadi less human melalui tiga cara, yaitu: (1) melemahkan kekuatan relasional manusia; (2) memperkuat opresi terhadap kelompok sub-altern yang membuat narasi solidaritas dan rasa kebersamaan sepenuhnya hilang; dan (3) menciptakan sistem otomasi yang membuat manusia semakin terpinggirkan. Kemunculan AI membawa kemajuan bagi peradaban manusia dan dampak keberadaannya memiliki pola yang serupa dengan industrialisasi yang mengawali modernitas kehidupan sebelumnya, yaitu membuat manusia semakin asing dengan lingkungan dan relasi sosialnya. Seperti halnya teknologi yang lain, penciptaan AI pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Teknologi AI tidak dibangun untuk meningkatkan kepekaan manusia terhadap lingkungan sosial (Al-Amoudi, 2022), dan sebagai konsekuensinya, kekuatan relasional yang mendefinisikan ‘kemanusiaan’ manusia itu sendiri akan semakin terkikis. Kemunculan teknologi AI sebagai sebuah human enhancement juga memiliki potensi untuk memperkuat kesenjangan yang sudah ada. Kesenjangan ini bahkan bisa sampai pada titik di mana perbedaan masyarakat yang semakin tajam menghapuskan rasa kebersamaan dan solidaritas (Al-Amoudi, 2022; MacIntyre, 2009). Terlebih lagi, keberadaan AI yang menciptakan otomasi pada berbagai proses sosial juga memiliki potensi untuk meminggirkan manusia di dunia yang diciptakannya sendiri, karena fungsinya mulai dapat digantikan oleh mesin.

Selain itu, terintegrasinya AI dalam berbagai aspek kehidupan memiliki potensi untuk menghapuskan keagensian dan kebebasan manusia. Sistem dan algoritma AI kini tertanam pada hampir setiap teknologi yang sehari-hari digunakan manusia: media sosial, platform streaming musik dan video, aplikasi e-commerce, smart-home devices, ponsel pintar, hingga surveillance devices. Sistem AI yang tertanam ini akan secara terus-menerus mengumpulkan dan menyimpan data pribadi pengguna secara ektensif; mempelajarinya untuk menciptakan personalisasi pengalaman pengguna, memunculkan iklan sesuai dengan kebutuhan pengguna, hingga menampilkan rekomendasi tertentu yang disesuaikan dengan preferensi individual (Taeihagh, 2021). Sebagai sebuah machine learning, AI juga terus mengalami proses ‘belajar’ dari berbagai input data yang dikumpulkannya, melakukan analisis terhadap pola interaksinya dengan pengguna hingga kemampuannya sampai pada titik di mana AI ‘mengarahkan’ keputusan penggunanya.

Di era digital saat ini, AI bahkan lebih banyak mengambil keputusan untuk manusia pada level individual, dibandingkan dengan manusianya sendiri (Luo, 2021). Sebagai contoh, algoritma Youtube atau Netflix akan menentukan video atau film apa yang direkomendasikan. Rekomendasi video dan film ini pun akan berbeda-beda bagi setiap orang, karena AI yang tertanam dalam aplikasi akan secara terus-menerus mempelajari aktivitas manusia selama menggunakan platform tersebut, sehingga dapat menentukan apa yang paling disukai pengguna dan kemudian menampilkannya di halaman paling depan. Keberadaan AI telah menyederhanakan pilihan-pilihan manusia dan praktik yang semacam ini menjadi sangat problematik. Meskipun dapat menciptakan efisiensi, algoritma personalisasi yang terdapat pada hampir semua teknologi digital telah mengikis otonomi manusia dalam mengambil keputusan melalui proses penyaringan informasi yang hanya disesuaikan dengan preferensi pengguna (Taeihagh, 2021).

Dalam jangka panjang, dimensi kebebasan manusia bisa saja hilang karena dibatasinya keragaman informasi. Alih-alih memaksimalkan kapasitas manusia, pengembangan AI ini justru malah memiliki potensi untuk membalikkan kemajuan freewill yang selama ini diperjuangkan. AI belum tentu bisa membuat kehidupan dan peradaban manusia menjadi lebih baik di masa mendatang. Bukannya semakin merdeka, manusia malah bisa berubah menjadi ‘mesin’ yang tidak memiliki pilihan untuk sekedar menentukan apa yang ingin mereka makan atau rute mana yang akan mereka ambil (Anderson dkk., 2018). Keputusan-keputusan manusia dalam kehidupan sehari-hari bisa sepenuhnya bergantung pada algoritma yang sarat akan rasionalitas semata. Sebagai konsekuensinya, AI tidak memiliki kemampuan untuk memberikan hidup yang bermakna, dan hal ini dinilai tidak etis. 

Lebih jauh lagi, sulitnya proses inkorporasi akuntabilitas dalam teknologi AI membuat moralitas pengembangannya semakin dipertanyakan. Dimensi akuntabilitas hingga saat ini masih menjadi perhatian dalam perkembangan AI (Malhotra & Misra, 2022). Adakalanya rekomendasi keputusan atau tindakan yang dihasilkan oleh proses kognitif AI sebagai entitas tak-hidup, merugikan kelompok tertentu. Situasi ini akan kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, seperti: siapa yang harusnya bertanggung jawab dan kepada siapa? atau seperti apa bentuk pertanggungjawabannya? Namun demikian, upaya-upaya untuk melimpahkan akuntabilitas pada machine learning masih mencapai titik ketidakpastian. 

Terlalu banyak individu yang terlibat dalam proses desain, pengembangan, dan implementasi algoritma AI, menjadi alasan utama mengapa dimensi akuntabilitas ini cenderung tidak bisa diaplikasikan. Apabila algoritma AI menghasilkan keputusan yang bias, akan sangat sulit untuk mengisolasi satu individu atau kelompok yang harus dimintai pertanggungjawaban (Malhotra & Misra, 2022). Selain itu, proses pengembangannya yang kompleks juga membuat tracing sumber masalah membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, alih-alih mencari siapa yang salah, developer akan lebih memilih untuk segera memformulasikan solusi terhadap permasalahan yang muncul. Lebih jauh lagi, algoritma machine learning juga bekerja dalam sebuah black box, artinya logika internal dalam teknologi AI seringkali disembunyikan dari penggunanya dan bahkan pengembangnya (Busuioc, 2021)

Situasi ini berpotensi mengerosi tanggung jawab perusahaan-perusahaan penyedia teknologi dengan mengambinghitamkan sistem. Apabila terjadi permasalahan yang merugikan pengguna, misalnya, perusahaan bisa melepaskan tanggung jawabnya dan berdalih dengan menggunakan kalimat ‘kami tidak meprekdiksikan hal ini akan terjadi’. Situasi tersebut tentunya sangat ironis, mengingat bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi memperlakukan aspek ‘kecerdasan’ dalam AI sebagai sebuah entitas yang memiliki kesadaran konteks sosial dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap pola yang dapat mengintensifkan bias, dan karenanya, AI seharusnya berkonotasi dengan agensi moralitas (Malhotra & Misra, 2022). Akan tetapi pada kenyataannya, ketika dihadapkan dengan situasi yang merugikan penggunanya, AI berubah menjadi entitas tak-hidup yang bisa disalahkan, namun tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Menilik permasalahan moralitas yang didasarkan pada konsepsi dominan atas manusia dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi AI memang sangatlah rumit. Terlebih ketika moralitas itu sendiri memiliki banyak makna dan seringkali bersifat relatif, sehingga memunculkan berbagai pertanyaan tentang standar moral siapa yang akan digunakan? Meskipun demikian, terlepas dari adanya ambiguitas dalam konsepsi moralitas, tetaplah penting untuk memastikan bahwa perkembangan AI di masa depan berpegang pada standar moral tertentu, guna menjamin bahwa AI tidak akan menghilangkan esensi kemanusiaan, menghapuskan kebebasan dan keagensian individu, atau mengerosi tanggung jawab manusia sebagai penciptanya. Mengembangkan AI yang ‘bermoral’ dapat dimulai dari memperkuat regulasi pada perkembangannya. Hal ini bertujuan agar manusia sebagai pengguna mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Penguatan regulasi ini juga penting untuk memastikan bahwa AI tidak hanya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu saja, tetapi juga untuk benar-benar mencapai visi yang diembannya: AI for Good, AI for All.

Referensi

Al-Amoudi, I. (2022). Are post-human technologies dehumanizing? Human enhancement and artificial intelligence in contemporary societies. Journal of Critical Realism, 21(5), 516–538. https://doi.org/10.1080/14767430.2022.2134618

Anderson, J., Rainie, L., & Luchsinger, A. (2018). Artificial Intelligence and the Future of Humans.

Bodkin, H. (2019, Januari 30). Robot that thinks for itself from scratch brings forward rise the self-aware machines. The Telegraph. https://www.telegraph.co.uk/science/2019/01/30/robot-thinks-scratch-brings-forward-rise-self-aware-machines2/

Bostrom, N., & Yudkowsky, E. (2014). The Ethics of Artificial Intelligence. Dalam K. Frankish & W. Ramsey (Ed.), Cambridge Handbook of Artificial Intelligence (hlm. 316–334). Cambridge University Press.

Busuioc, M. (2021). Accountable artificial intelligence: Holding algorithms to account. Public Administration Review, 81(5), 825–836.

Islam, G. (2021). Can AIs do Politics. Dalam M. S. Archer & A. M. Maccarini (Ed.), What is Essential to Being Human? Can A.I. Robots Not Share It? (hlm. 73–158). Routledge.

Li, C. (2021). The Artificial Intelligence Challenge and the End of Humanity. Dalam Intelligence and Wisdom (hlm. 33–48). Springer Nature Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-16-2309-7_3

Luo, E. (2021). The Effect of Artificial Intelligence on the Human Idea of Free Will. Proceedings of the 2021 International Conference on Social Development and Media Communication , 1355–1364.

MacIntyre, A. C. (2009). Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues. Duckworth.

Malhotra, P., & Misra, A. (2022). ACCOUNTABILITY and RESPONSIBILITY of ARTIFICIAL INTELLIGENCE DECISION-MAKING MODELS in INDIAN POLICY LANDSCAPE. The IJCAI-ECAI-22 Workshop on Artificial Intelligence Safety.

Ponciano, L., Brasileiro, F., Andrade, N., & Sampaio, L. (2014). Considering human aspects on strategies for designing and managing distributed human computation. Journal of Internet Services and Applications, 5(1), 10. https://doi.org/10.1186/s13174-014-0010-4

Taeihagh, A. (2021). Governance of artificial intelligence. Policy and Society, 40(2), 137–157. https://doi.org/10.1080/14494035.2021.1928377

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.