Pasar Aset Kripto dan Ekonomi Metaverse: Risiko Integrasi dan Regulasi

,

Pengembangan teknologi yang dilakukan secara berkelanjutan dewasa ini telah mendorong hadirnya berbagai disrupsi tidak terduga (unpredictable disruption). Salah satunya adalah digunakannya aset kripto sebagai salah satu instrumen ekosistem ekonomi digital. Jenis aset kripto yang umum digunakan adalah mata uang kripto (cryptocurrency) seperti bitcoin, ethereum ataupun bentuk mata uang kripto lainnya. Pemanfaatan mata uang kripto sebagai alat pembayaran dalam ekosistem ekonomi digital pada skala global tersebut menjadi satu disrupsi yang serius di tingkat nasional. Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) telah secara tegas melarang penggunaan mata uang kripto yang umum juga disebut sebagai mata uang virtual (virtual currency) sebagai alat pembayaran sesuai ketentuan Pasal 34 huruf (a) Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PBI 18/2016). Meski demikian, aturan yang dimaksud tidak dapat secara ekstensif menjangkau pengembang teknologi generasi kelima (5G) yang memperluas cakupan ekosistem ekonomi digital ke satu model termutakhir, yaitu ekosistem metaverse.

Ekosistem metaverse adalah satu ekosistem yang memanfaatkan instrumen augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) dalam satu rangkaian yang padu (Deloitte, 2022) dengan didukung instrumen lain seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI, 5G, hingga blockchain (Bojic, 2022). Semula ekosistem metaverse digunakan oleh para pengembang teknologi untuk simulasi permainan (game simulation), tetapi dewasa ini cakupan dari ekosistem metaverse juga hingga transaksi jual beli ataupun kegiatan perekonomian lainnya. Salah satunya ditandai dengan perilaku pengguna ekosistem metaverse yang melakukan transaksi jual beli dengan menggunakan mata uang kripto hingga pengalihan kepemilikan non fungible token (NFT). Hal ini menunjukkan bahwa variasi jenis aset kripto digunakan secara fleksibel pada ekosistem metaverse.

Sifat fleksibel aset kripto tersebut pada prinsipnya berasal dari variasi karakteristik dari aset kripto itu sendiri, yaitu sebagai mata uang, alat penyimpan nilai, sarana, hingga alat untuk dapat melakukan spekulasi yang disebut dengan istilah pyramid (World Economic Forum, 2022). Hal ini pada luarannya mendorong aset kripto dan kegiatan perekonomian memiliki pertalian yang erat. Karenanya, saat ini umum bagi para pengguna ekosistem metaverse untuk menyebutnya sebagai ekonomi metaverse, karena ada valuasi yang dapat dihasilkan sebagai satu keuntungan bagi para pengguna yang melakukan kegiatan perekonomian di dalam ekosistem metaverse. Oleh karena itu, pasar aset kripto yang sebagian besarnya adalah bersifat unregulated dapat tumbuh signifikan pada ekosistem metaverse.

Sifat unregulated pada sebagian besar pasar aset kripto membuat penggunaan aset kripto tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga risiko keuangan secara makro (IMF, 2021) dan eksklusivitas dari aksesibilitasnya (Holtmeier & Sandner, 2019). Risiko keuangan yang dimaksud adalah bahwa aset kripto terutama yang berkaitan dengan mata uang kripto tidak memiliki underlying asset, sehingga fluktuasi dari valuasinya akan sangat tinggi. Mengenai fluktuasi tersebut, para pengguna di ekosistem metaverse yang menggunakan aset kripto menjadi rentan untuk dirugikan terutama ketika perubahan valuasi terjadi saat transaksi belum diselesaikan. Hal ini juga yang pada implikasinya menghasilkan risiko integrasi dari aset kripto dan ekosistem metaverse. Setidaknya terdapat dua risiko serius yang patut untuk dicermati secara komprehensif.

Risiko yang pertama adalah tidak diregulasinya seluruh transaksi aset kripto, baik di skala global ataupun nasional, membuat aset kripto di ekosistem metaverse menjadi alat spekulasi dibandingkan untuk menjadi alat pembayaran. Dalam hal ini, juga aset kripto yang digunakan pada ekosistem metaverse dapat tidak bernilai ketika penyelenggara yang menerbitkan aset kripto tersebut mengalami kepailitan ataupun tidak dapat beroperasi kembali secara permanen. Risiko kedua adalah dengan integrasi aset kripto dan ekosistem metaverse, para pengguna dimungkinkan untuk bertransaksi tanpa menggunakan identitasnya yang sah atau anonim. Apabila hal ini dilakukan dengan salah satu pihak beritikad buruk dalam bertransaksi, penyelenggara ekosistem metaverse yang terikat model end-to-end user menjadi akan sulit untuk dapat melakukan perlindungan hukum bagi setiap penggunanya.

Berbicara mengenai perlindungan hukum, sifat unregulated dari aset kripto dan ekosistem metaverse tersebut terlebih apabila terjadi integrasi akan membuat peran Pemerintah dalam melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi pengguna keduanya patut untuk didorong penguatannya. Hal ini menjadi penting ketika Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah disahkan menjadi Undang-Undang pada 15 Desember 2022 di mana dalam aturan ini disebutkan kewenangan pengaturan dan pengawasan aset kripto menjadi kewenangan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini menjadi penting karena integrasi dari aset kripto dan ekosistem metaverse tidak dapat disamakan pendekatannya dengan hanya melarang penggunaan aset kripto pada penyelenggara sistem pembayaran yang sudah diatur dalam ketentuan PBI 18/2016. Setidaknya terdapat dua aspek yang perlu diatur dalam regulasi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pengguna aset kripto pada ekosistem metaverse. Ini diperlukan untuk mendukung ekonomi metaverse agar teregulasi secara benar dan mendorong realisasi pertumbuhan valuasi ekosistem metaverse.

Aspek yang pertama adalah mengenai ruang lingkup penerbit aset kripto dan penyelenggara ekosistem metaverse. Hal ini karena penerbit aset kripto dan penyelenggara ekosistem metaverse dapat pula berbentuk perorangan asing atau Warga Negara Asing (WNA), badan hukum asing, subjek hukum bukan berbadan hukum asing di luar perorangan. Dalam hal ini diperlukan satu aturan yang tegas untuk mengatur ruang lingkup dari penerbit aset kripto dan penyelenggara ekosistem metaverse yang penggunanya berasal dari Indonesia. Realisasi dari aturan tersebut seyogyanya akan memberikan payung hukum yang jelas untuk melindungi kepentingan seluruh pihak yang ada di dalamnya.

Aspek kedua adalah aspek penggunaan end-to-end user. Diperlukan pembatasan dalam keadaan tertentu, salah satunya adalah kewenangan Pemerintah untuk dapat melakukan pelacakan pengguna yang melakukan dugaan tindak pidana dalam integrasi aset kripto dan ekosistem metaverse yang melibatkan WNI dan entitas lain yang terafiliasi. Oleh karena itu, integrasi aset kripto dan ekosistem metaverse perlu didukung mitigasi risikonya dan pembentuk regulasi harus dapat merespon hal tersebut dengan regulasi yang memadai.

Referensi

Deloitte. 2022. The Metaverse in Asia: Strategies for Accelerating Economic Impact. (Deloitte Center for the Edge, Report).

International Monetary Fund. 2021. Global Financial Stability Report Covid-19, Crypto, and Climate: Navigating, Challenging Transitions (Washington: International Monetary Fund).

Ljubisa Bojic, “Metaverse Through the Prism of Power and Addiction: What Will Happen When The Virtual World Becomes More Attractive Than Reality?”, European Journal of Futures Research 10 (22), 2022, pp. 1-24.

Moritz Holtmeier and Philipp Sandner. 2019. The Impact of Crypto Currencies on Developing Countries. Frankfurt School Blockchain Center (FSBC) Working Paper December 2019.

World Economic Forum. 2022. The Macroeconomic Impact of Cryptocurrency and Stablecoins. White Paper (Geneva: World Economic Forum)

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.