Umat Tuhan yang Kini Selalu Terhubung: Hiperkonektivitas pada Umat Kristen Indonesia di Era Digital

,

Kemajuan teknologi komunikasi membawa masyarakat untuk masuk ke dalam situasi yang disebut dengan hiperkonektivitas (hyperconnectivity). Hiperkonektivitas adalah keadaan di mana masyarakat selalu terhubung dan dapat berinteraksi dengan siapa saja melalui teknologi, bisa mengakses berbagai macam teknologi komunikasi kapan saja dan di mana saja, kaya akan informasi yang bahkan melebihi kapasitas konsumsi seseorang, serta selalu merekam berbagai aktivitas yang dijalani, baik secara daring maupun luring (Fredette, dkk, 2012). Hiperkonektivitas memiliki dampak yang spesifik dan unik pada kelompok masyarakat tertentu. Salah satunya adalah kelompok keagamaan di Indonesia, negara religius yang jumlah penetrasi telepon genggam lebih besar daripada jumlah penduduk secara keseluruhan (We Are Social, 2015, dalam Epafras, 2016).

Hubungan kelompok keagamaan dan fenomena hiperkonektivitas menjadi menarik untuk dibahas karena teknologi digital kerap kali dianggap sebagai suatu hal yang terpisah dari praktek keagamaan di kehidupan nyata (Handayani, 2020). Riset yang dilakukan oleh Armfield dan Holbert (2003) terhadap masyarakat Amerika Serikat menemukan bahwa semakin religius seseorang, semakin kecil kemungkinan orang tersebut menggunakan internet. Walaupun demikian, saat ini pengaruh internet dan paparan media sosial sudah tidak bisa dihindari oleh sebagian besar masyarakat di belahan dunia manapun, termasuk kelompok keagamaan. Bahkan banyak institusi keagamaan seperti gereja aktif menggunakan internet sebagai sarana untuk pelaksanaan ibadah (khususnya ketika pandemi COVID-19). Media sosial juga dimanfaatkan oleh pemuka agama untuk menyebarkan ajaran dan konten-konten religius. Hal ini juga tidak terkecuali terjadi di kalangan umat beragama, yang dapat mengakses konten apapun tentang agama, bahkan dapat berinteraksi dengan kelompok keagamaan di luar kelompoknya sendiri. Tulisan ini akan menganalisis secara kritis bagaimana hiperkonektivitas berdampak pada masyarakat pemeluk agama Kristen di Indonesia. Sebagai kelompok masyarakat keagamaan yang bukan mayoritas di Indonesia dan memiliki banyak sekali aliran dan denominasi di dalamnya, kelompok masyarakat agama Kristen akan memberikan perspektif yang menarik bagi bahasan ini.

Dua Perspektif Teoretis terhadap Agama di Ranah Siber

Bagi mayoritas umat Kristen di Indonesia, khususnya institusi gereja, kemajuan teknologi komunikasi dimanfaatkan sebagai suatu hal yang dapat dieksploitasi bagi kepentingan berteologi dan pemaknaan realitas transendental, dan merupakan suatu hal yang tidak dapat dilawan atau diabaikan (Afandi, 2018). Hingga saat ini, hampir seluruh gereja di berbagai kota memiliki akun media sosial dan menayangkan ibadah secara daring setiap minggunya. Contohnya, Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang menayangkan ibadahnya setiap minggu di YouTube, dengan penonton ribuan tiap minggunya. Tidak hanya dalam hal beribadah, hadirnya internet diikuti dengan munculnya ekspresi religius di ranah siber, tidak terkecuali bagi generasi muda (Epafras, 2016). Ekspresi tersebut muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari menonjolkan keikutsertaan pada aktivitas keagamaan di media sosial, membuat konten-konten keagamaan seperti renungan, nyanyian rohani, atau kajian Alkitab, hingga melakukan kritik pada tokoh tertentu atau kelompok denominasi tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan ‘kebenaran’. Fenomena ini dapat dikaji dengan dua pendekatan teoretis.

Yang pertama adalah dari perspektif teori mediatisasi keagamaan, yaitu bagaimana media memengaruhi perubahan perilaku dan tindakan masyarakat maupun individu. Karenanya, dalam konteks keagamaan, media menjadi suatu hal yang penting, bahkan sumber utama dari informasi atau isu terkait keagamaan (Hjarvard, 2013). Dengan demikian, informasi keagamaan dan pengalaman spiritual dibentuk berdasarkan permintaan atau kebutuhan genre media yang populer, dan media telah mengambil alih banyak fungsi kultural maupun sosial dari institusi keagamaan seperti menyediakan bimbingan spiritual, orientasi moral, pedoman ritual dan kesadaran akan komunitas (Hjarvard, 2008). Dengan demikian, sebagai teori yang erat dengan konsep “technological determinism”, mediatisasi keagamaan menitikberatkan pada peran signifikan (bahkan cenderung absolut) media dalam membentuk aktivitas keagamaan.

            Di sisi lain, terdapat perspektif yang tidak menitikberatkan pada peran signifikan media, yaitu perspektif teori pembentukan sosial-keagamaan pada teknologi digital (Religious Social-Shaping of Digital Society). Teori ini berargumen bahwa hubungan antara teknologi komunikasi dan kelompok keagamaan merupakan interaksi yang bersifat dua arah, di mana identitas dan nilai-nilai dari kelompok keagamaan itu sendiri akan sangat memengaruhi bagaimana pemilihan dan tingkat keterlibatan seorang individu pada sebuah media baru (Campbell, 2010). Dengan demikian, terjadi negosiasi antara komunitas keagamaan serta individu dengan bentuk-bentuk baru dari media, sebelum mereka memilih dan menggunakan media tersebut.

            Walaupun bertentangan, kedua perspektif ini tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya justru saling melengkapi satu sama lain. Ada bagian di mana umat beragama betul-betul tidak memiliki pilihan atau bahkan kesadaran ketika terpapar media baru. Namun mereka tidak sepenuhnya tidak berdaya, karena nilai-nilai keagamaan dan sudut pandang dunia mereka memberikan dorongan yang kuat untuk memilih dan bernegosiasi, lebih dari komunitas lainnya (Campbell, 2005). Dua perspektif yang berbeda ini dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana hiperkonektivitas berdampak pada umat Kristen di Indonesia, dan memetakan hal-hal apa saja yang harus diantisipasi di masa depan.

Disrupsi Bagi Kehidupan Kegamaan Kristen

Dalam era hiperkonektivitas, media sosial dapat menjadi fakta relasi sosial. Bagi umat Kristen dan kelompok-kelompok denominasi yang terdapat di dalamnya, ajaran yang sarat dengan unsur ‘kebenaran mutlak’ menjadi salah satu konten utama yang diproduksi oleh institusi gereja di Indonesia. Tidak jarang ‘kebenaran mutlak’ tersebut merupakan suatu hal yang bertentangan, sehingga perdebatan dan benturan terkait kekristenan dan praktiknya lazim ditemukan di berbagai kanal dalam dunia maya. Dengan mempertontonkan hal tersebut, hiperkonektivitas yang dialami oleh umat Kristen membuat mereka semakin berpikir tentang ajaran yang dipegang. Contohnya, ketika seorang pendeta mengeluarkan statement tertentu, umat bisa dengan aktif memberikan sanggahan atau mengekspresikan ketidaksetujuannya. Hal ini berbeda dengan masa sebelum internet merajalela, di mana suara pemuka agama cenderung dianggap kebenaran mutlak yang tidak perlu diverifikasi. Dinamika yang baru ini, ditambah lagi dengan algoritma media sosial dan fenomena-fenomena lain seperti ruang gema dan filter bubble, hal ini bisa berakibat pada polarisasi antar kelompok Kristen yang semakin runcing, perubahan cara berpikir yang bisa mengakibatkan perpindahan kelompok, atau bahkan skeptisisme dan pembentukan kelompok-kelompok baru.

            Dari perspektif mediatisasi, kehadiran koneksi dan konten tidak terbatas membawa kehidupan keagamaan bagi umat dan pemuka agama Kristen di Indonesia menghadapi tantangan yang belum pernah ada sebelumnya. Hal yang tidak dapat dihindari ini bisa berakibat pada skeptisisme yang lebih besar terhadap institusi dan pemuka agama di masa yang mendatang. Selain itu, fenomena maraknya prosumer konten kristen yang bisa bertindak seperti pendeta atau pengajar agama, tanpa pengawasan dan pengakuan institusi teologi, dapat berpotensi untuk membuat media sosial dipenuhi oleh konten-konten kekristenan dengan kualitas dan validitas yang rendah. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak influencer Kristen yang pada dasarnya bukan pendeta, melainkan hanya orang awam yang memiliki platform untuk menyuarakan ajaran agama.

            Dari perspektif teori pembentukan sosial-keagamaan pada teknologi digital, nilai kekristenan menjadi alasan utama mengapa dan bagaimana umat Kristen hidup dengan teknologi komunikasi. Dengan menggunakan nilai untuk memberitakan kabar baik injil sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya, serta menjangkau berbagai golongan masyarakat, gereja yang tidak memanfaatkan teknologi dianggap gagal memahami konteks berteologi di dunia modern dan berada di belakang sebuah alat penting dalam lingkungan global modern (Cox, 2014). Untuk menyikapi permasalahan-permasalahan dalam hiperkonektivitas dan potensi ancaman yang ada, literasi digital berdasarkan nilai-nilai alkitab disuarakan oleh institusi gereja (PGI, 2018). Di saat semua orang bisa membuat konten dan saling menyanggah satu sama lain, penting untuk umat bisa menyikapinya dengan baik dan etis. Hal ini dimulai dengan kesadaran akan perubahan dan situasi penuh informasi yang sedang dihadapi saat ini.

            Hiperkonektivitas juga membuat teknologi dan internet yang dulunya dianggap sebagai suatu hal yang ‘sekuler’ menjadi ‘sakral’. Paparan teknologi yang tidak dapat dihindari membuat banyak nilai kristen yang diadaptasikan untuk ‘spiritualisasi teknologi’, sehingga terhubung dengan teknologi tidak hanya diperbolehkan bagi umat, tetapi juga bagian dari mandat (Campbell, 2005). Bahkan, dengan kemunculan praktik-praktik ritual keagamaan dalam ranah siber seperti ibadah daring dan layanan doa daring, ranah siber menjadi suatu tempat yang sakral. Batasan pertemuan fisik yang mutlak bagi relasi antar umat mulai didobrak perlahan oleh signifikansi relasi virtual. Dengan nilai-nilai demikian yang juga terus diadaptasi untuk ‘mensakralkan’ teknologi komunikasi dan ranah siber, umat Kristen dapat masuk dalam situasi hiperrealitas, yang mengaburkan yang nyata dan yang maya (Baudrillard, 1981).

Kesimpulan

Hiperkonektivitas memberikan disrupsi yang signifikan bagi umat Kristen di Indonesia. Dengan membentuk pola interaksi hingga sakralisasi dunia maya, peluang serta tantangan akan terus mewarnai kehidupan komunitas keagamaan mereka. Hal ini menegaskan signifikansi kajian spiritualitas pada ranah siber (cyberspirituallity) di Indonesia, mengingat pentingnya peran agama dalam negara yang bersifat religius. Tidak hanya untuk kepentingan umat Kristen sendiri, tetapi bagi untuk mengantisipasi tantangan dalam kehidupan dalam masyarakat majemuk ragam agama, dengan tantangan dan potensi ancaman yang dibawa serta oleh hiperkonektivitas.

Referensi

Afandi, Y. (2018). Gereja dan Pengaruh Teknologi Informasi “Digital Eclesiology”. Jurnal FIDEI, 1(2), 270-283.

Armfield, G. G., dan Holbert, R. (2003). The Relationship Between Religiosity and Internet Use. Journal of Media and Religion, 2(3), 129-144.

Baurdrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press.

Campbell, H. A. (2005). Spiritualizing the Internet: Uncovering Discourses and Narratives of Religious Internet Usage. Heidelberg Journal of Religions on the Internet, 1(1), 1-26.

Campbell, H. A. (2010). When Religion Meets New Media. London: Routledge.

Cox, B. (2014). Rewired: How Using Today’s Technology Can Bring You Back to Deeper Relationships, Real Conversations, and the Age-Old Methods of Sharing God’s Love. Florida: Passio Charisma House Book Group.

Epafras, L. C. (2016). Religious e-Xpression Among the Youths in the Indonesian Cyberspace. Jurnal Ilmu Komunikasi, 13(1), 1-18.

Fredette, J., Marom, R., Steinert, K., Witters, L. (2012). The Promise and Peril of Hyperconnectivity for Organizations and Society. The Global Information Technology Report 2012: Living In a Hyperconnected World. Dari http://www3.weforum.org/docs/GITR/2012/GITR_Chapter1.10_2012.pdf . Diakses pada 10 Desember 2020.

Handayani, H. W. (2020). Menuju Relevansi: Teknologi Digital dan Berubahnya Religiusitas. Dari https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/article/540. Diakses pada 11 Desember 2020.

Hjarvard, S. (2008). The Mediatization of Religion: A Theory of The Media as Agents of Religious Change. Northern Lights, 6(1), 9-26.

Hjarvard, S. (2013). The Mediatization of Religion: Theorizing Religion, Media and Social Change. Culture and Religion: An Interdisciplinary Journal, 12(2), 119-135.

Kresna, M. (2019, 26 Juli). Gaya Hidup Pendeta, Uang, dan Bisnis Gereja Raksasa. Dari https://tirto.id/gaya-hidup-pendeta-uang-dan-bisnis-di-gereja-raksasa-ee4s. Diakses pada 12 Desember 2020.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). (2018). Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial: Panduan Bermedia Sosial. Jakarta: PGI & Kementerian Kominfo.

Wellman, B. (2003). The Social Affordances of the Internet for Networked Individualism. Journal of Computer-Mediated Communication, 8(3).

World Economic Forum. (2016). Digital Media and Society: Implications in a Hyperconnected Era. Dari http://www3.weforum.org/docs/WEFUSA_DigitalMediaAndSociety_ Report2016.pdf . Diakses pada 12 Desember 2020.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.