Budaya Sebagai Bagian Masa Depan Sistem Pangan yang Lestari

Menghadapi tantangan bonus demografi dan perubahan iklim, persoalan tentang pangan menjadi urusan vital di Indonesia. Penulis mencermati terdapat empat masalah kronis pangan di Indonesia. Pertama, pangan selalu dikaitkan dengan urusan produksi, mengabaikan unsur budaya. Padahal, ketika merujuk pada studi Altieri (2004) diketahui bahwa budaya seharusnya membentuk bagaimana suatu pangan diproduksi. Budaya yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai sebuah makna dan sistem yang unik, dibagikan oleh suatu kelompok dan ditransmisikan lintas generasi, yang memungkinkan kelompok tersebut memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup (Alonso, Cockx, & Swinnen, 2018). Penulis menilai, keterkaitan antara urusan pangan dan budaya dapat dilihat dari pelaksanaan proyek food estate dari pemerintah. Sebagai contoh dalam kasus Papua, komunitas lokal disana dicerabut dari kebiasaan turun temurunnya yang mengonsumsi sagu dan pangan lokal. Saat ini, masyarakat lokal papua mengalami ketergantungan pada nasi dan pangan instant untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Krisandi & Wijanarko, 2024).

Kedua, adanya bias dalam melihat keberagaman pangan di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (DJPT), Indonesia memiliki 77 jenis sumber pangan karbohidrat, 26 jenis sumber pangan kacang-kacangan, 389 jenis sumber pangan buah-buahan, dan 110 jenis sumber rempah-rempah. Meski demikian, dari 77 jenis sumber pangan karbohidrat tersebut, hanya 3 jenis yang dikenal luas dan dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu beras, jagung, dan umbi-umbian. Bahkan, ketika merujuk pada data statistik Indonesia tahun 2021, pola konsumsi karbohidrat masyarakat semakin mengerucut pada beras, dengan  peningkatan sebesar 0.56% (Alta, Auliya, & Fauzi, 2023). Penulis menilai, pola konsumsi masyarakat yang bias dalam melihat keberagaman pangan dipengaruhi oleh sejarah politik pangan sejak masa kolonial. Meski demikian, kebijakan pada era Orde Baru melalui program revolusi hijau menjadi penanda penting dalam membentuk pola konsumsi masyarakat. Pemerintah saat itu mempunyai kekuasaan besar untuk memutuskan jenis benih, jenis pupuk, jenis pestisida, dan berbagai peraturan dalam pertanian, hal ini membuat petani tidak berdaya dan akhirnya memilih patuh saja pada ketetapan pemerintah (Nurfitriani & Hindersah, 2021). Sayangnya, bias dalam melihat keberagaman pangan ini masih terus berlanjut hingga era Reformasi. Sebagai contoh, ketika menilik peta situasi peringatan kerawanan pangan dan gizi (SKPG), pengukuran ketersediaan pangan masih dilihat dari rasio jumlah luas tanam padi bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata luas tanam padi bulan bersangkutan dalam 5 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa padi masih menjadi komoditi prioritas utama.

Ketiga, budaya penghargaan pangan masih minim, pangan lebih dari sekedar komoditi perdagangan. Tulisan dari Jose Luis Vivero, seorang peneliti agrikultur dan budaya menyampaikan bahwa pada hakikatnya persoalan pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan harus tersedia bagi semua orang (Vivero, 2013). Oleh karena itu, ketika merujuk pada cita-cita tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), urusan pangan masuk ke dalam tujuan nomor dua, yaitu tanpa kelaparan. Sayangnya, budaya penghargaan pangan di Indonesia masih rendah. Menurut laporan kajian food loss and waste (FLW) Bappenas 2021, ditemukan bahwa timbulan FLW Indonesia pada tahun 2000-2019 sebesar 115-184 kg/kapita/tahun. Estimasi kerugian dari FLW Indonesia sebesar 213-551 triliun rupiah/tahun. Selain itu, jumlah orang yang dapat diberi makan dari kehilangan kandungan gizi (energi) dari FLW adalah 61-125 juta orang atau setara 29-47% populasi Indonesia.

Keempat, abainya terhadap prinsip keberlanjutan. Penulis menilai upaya mewujudkan ketersediaan pangan di Indonesia belum mempertimbangkan keselamatan lingkungan dan keanekaragaman hayati yang ada. Hal ini dapat dilihat dari hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) 2021, di mana sekitar 89,5% lahan pertanian masih berstatus tidak berkelanjutan. Persoalan tersebut umumnya disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan, tingginya risiko penggunaan pestisida, dan kepastian hak kepemilikan lahan yang masih bermasalah (Pambudy, 2023). Menurut penulis, pemerintah yang menggalakkan proyek food estate meski mengalami kegagalan karena ketidaksesuaian lahan merupakan bentuk nyata dari pengabaian  prinsip keberlanjutan ini. Temuan BBC News Indonesia juga menunjukkan bahwa petani di Desa Tajepan yang terbiasa menanam padi varietas lokal, mengalami kegagalan di tahun 2021 dan 2023 saat diminta menanam padi varietas unggul dari pemerintah (Ahmad, 2024). Kegagalan yang terjadi di Tajepan disebabkan oleh lahan gambut dan banjir di wilayah pertanian padi. Selain itu, petani juga menyampaikan bahwa padi varietas unggul dari pemerintah tidak tahan saat terendam banjir, berbeda dengan padi varietas lokal yang lebih tahan saat terendam air.

Merujuk pada empat permasalahan yang diuraikan sebelumnya, penulis mengidentifikasi perlunya perubahan sistemik untuk mewujudkan sistem pangan yang lestari. Keyakinan terkait pentingnya melakukan perubahan dalam sistem pangan juga disampaikan oleh Antonio Gutterres, Sekretaris Jenderal PBB. “Tanpa perubahan pada sistem pangan global, kita tidak memiliki peluang untuk memenuhi satupun dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs” (Guterres, 2023).

Membangun Kedaulatan Pangan di Indonesia: Diversifikasi Pangan dan Pertanian Regeneratif Sebagai Kunci

Ketika mengkaji persoalan terkait pangan di Indonesia, penulis mencermati keterkaitannya dengan unsur politis. Dalam hal ini, penulis memilih istilah “kedaulatan pangan” untuk mengingatkan kita bahwa pangan yang kita makan merupakan hasil kerja keras dan penghormatan atas nilai-nilai tradisional para petani. Mengingat sekilas lahirnya istilah kedaulatan pangan, pertama kali diperkenalkan dalam kongres la via campesina. Deklarasi ini merupakan gerakan yang diinisiasi oleh petani, pekerja, perempuan dan Masyarakat Adat untuk menuntut kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sendiri dimaknai sebagai hak masyarakat untuk memperoleh pangan yang sehat yang dihasilkan dari sistem yang berkelanjutan. Kedaulatan pangan juga mengakomodasi hak suatu masyarakat untuk menentukan sistem pangan dan pertaniannya sendiri. Deklarasi La via Campesina merupakan perlawanan atas konsep “ketahanan pangan” yang dinilai tidak mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang mengakomodasi asas keberlanjutan dan inklusivitas. Dalam kebijakan ketahanan pangan, seringkali tujuan untuk mencapai ketersediaan pangan mengabaikan asal-usul dari mana pangan tersebut berasal (Mahvitasari, 2024).  

Ketika menghayati ruh dasar dari kedaulatan pangan, penulis menilai diversifikasi pangan menjadi salah satu prinsip penting untuk mewujudkan ketersediaan pangan dan gizi bagi masyarakat Indonesia. Selama ini, kebijakan pangan di Indonesia sangat bias terhadap satu komoditas yaitu padi/beras. Hal ini berdampak pada perkembangan pangan lokal karena investasi terhadap komoditas non-beras juga menurun (Eka, 2019). Tantangan utama dalam mewujudkan upaya diversifikasi pangan adalah ketergantungan masyarakat pada beras karena sejarah kebijakan beras-isasi di era Orde Baru.  Tentu menggeser kebiasaan konsumsi di masyarakat membutuhkan upaya edukasi secara serius. Karenanya, dalam implementasi diversifikasi pangan bukan hanya persoalan produksi dan pertanian namun juga melibatkan upaya-upaya pendidikan di masyarakat maupun pemerintah, terutama dalam mendorong perspektif yang mengakomodasi keberagaman pangan di Indonesia.

Penulis mencermati bahwa diversifikasi pangan juga perlu dibarengi dengan sistem produksi yang menjamin keberlanjutan. Dalam hal ini, pertanian regeneratif menjadi alternatif solusi bagi sistem produksi pangan yang memiliki tingkat lebih rendah atau bahkan nol dampak negatif bagi lingkungan maupun sosial (Newton, 2020). Prinsip-prinsip dalam pertanian regeneratif mengupayakan optimalisasi metode produksi yang meningkatkan kualitas lahan pertanian, terutama tanah dan air. Meski dalam definisinya cenderung mengarah pada wilayah proses namun implementasinya bergantung pada sumber daya manusia (SDM). Karenanya, untuk mewujudkan pertanian regeneratif perlu diawali dengan memberikan dukungan bagi pengembangan SDM maupun promosi atas HAM. Penghargaan atas hak-hak petani, dukungan bagi peningkatan skill, dan kolaborasi bersama lembaga riset dan teknologi dapat menjadi jembatan untuk mencapai tujuan pertanian yang berkelanjutan.

Diversifikasi pangan dan pertanian regeneratif adalah solusi yang bisa diwujudkan dengan kunci kolaborasi dan partisipasi. Selama ini, upaya diversifikasi pangan di Indonesia tidak pernah mencapai target yang signifikan karena minimnya partisipasi publik. Karenanya upaya serius perlu dilakukan dengan menggeser implementasi berbasis program menjadi gerakan massal yang melibatkan masyarakat secara luas. Tentunya hal ini perlu kolaborasi antara pemerintah, LSM, lembaga riset, petani, dan masyarakat itu sendiri.

Menghayati Masa Lalu Sebagai Pedoman Hidup di Masa Kini

Begitu pentingnya potensi lokal dalam perjalanan sistem pangan di Indonesia menunjukkan bahwa penghargaan atas nilai-nilai nenek moyang perlu dikembalikan. Penulis memaknai nilai-nilai nenek moyang sebagai ajaran hidup berdampingan antara manusia dan alam secara harmonis dalam menjalani kehidupan. Selama ini, segala proses yang mengarah pada ambisi kemajuan, mengabaikan kesadaran dasar sebagai suatu bangsa, yaitu pertanyaan mengenai “siapakah diriku?”. Pada prosesnya, menjajaki masa lalu dapat menjadi jalan alternatif menemukan kunci keberlanjutan dalam mengupayakan sistem pangan yang lestari dan resilien. Sudah sejak lama, proses pemahaman mengenai keberlanjutan dan inovasi mengandalkan temuan baru yang terkadang mengabaikan kebijaksanaan pengetahuan lampau. Oleh karena itu, perlu gerakan baru untuk mendobrak keyakinan tersebut dan mendorong penghargaan atas nilai-nilai lokal.

Salah satu pendekatan dalam pertanian yang berupaya mendorong kedaulatan pangan adalah agroekologi. Disini penulis merujuk pada pemaknaan agroekologi dalam konteks kedaulatan pangan, yang berarti mendorong hak-hak petani, seperti hak mereka untuk menghasilkan makanan yang sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya, di mana pengetahuan ini terakumulasi dari lingkungan tempat tinggal mereka dalam jangka waktu tertentu (Seminar, 2017).  Pengetahuan ini merupakan pengetahuan lokal yang mencakup tanaman apa saja yang cocok bagi lingkungan, makanan apa yang dipilih oleh masyarakat setempat, dan bagaimana cara menangani berbagai tantangan yang berkaitan dengan perubahan musim, hama, dan gulma. Melalui pendekatan ini, maka pendokumentasian mengenai sistem pangan masa lalu menjadi penting untuk dilakukan, sebagai upaya mewujudkan sistem pangan yang lestari.

Referensi

Ahmad. (2024, Oktober 20). BBC News. From BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c05g4zlm80ro

Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J. (2018). Culture and Food Security. Global Food Security, 17, 113-127. doi:https://doi.org/10.1016/j.gfs.2018.02.002

Alta, A., Auliya, R., & Fauzi, A. N. (2023). Policy Barriers to a Healthier Diet The Case of Trade and Agriculture. Jakarta: Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

Eka, H. A., Novi, H., & Elita, D. H. (2019, February). Food Consumption Diversity Based on Local Resources in Dealing with Food Security in Indonesia. RJOAS, 2 (86)(Agricultural and Social Economic), 236-241. From https://cyberleninka.ru/article/n/food-consumption-diversity-based-on-local-resources-in-dealing-with-food-security-in-indonesia/viewer

Guterres, A. (2023, July 24). UN Secretary-General’s remarks to the UN Food Systems Summit +2 Stocktaking Moment. From United Nations-Secretary General: https://www.un.org/sg/en/content/sg/statement/2023-07-24/un-secretary-generals-remarks-the-un-food-systems-summit-2-stocktaking-moment-bilingual-delivered-follows-scroll-down-for-all-english?_gl=1*19y6j6f*_ga*MTQwMjEzNzY1Ni4xNzMwMjc3MDQy*_ga_TK9BQL5X7Z*MTc

Krisandi, L. A., & Wijanarko, A. F. (2024). Epistemicide in The Indonesian Food Estate Project in a Critical Approach of Boaventura de Sousa Santos. The 11th International Conference on Nusantara Philosophy (pp. 1-7). Yogyakarya: Digital Press Social Sciences and Humanities. doi:https://doi.org/10.29037/digitalpress.411460

Mahvitasari, I., & Azzahrah, S. (2024, October 1). Risalah Kebijakan: Ketahanan Vs Kedaulatan Pangan: Membangun Masa Depan Pangan yang Inklusif di Indonesia. From Next Policy: https://docs.google.com/document/d/1vvcOc77owIijoYT5cGWFPxZFwdxy3LIspQXyT975sPs/edit?tab=t.0

Newton, P., Civita, N., Goldwater, L. F., Bartel, K., & Johns, C. (2020, October 20). What Is Regenerative Agriculture? A Review of Scholar and Practitioner Definitions Based on Processes and Outcomes. Front.Sustain. Food Syst, 4:577723(Sustainable Food System), 1-11.

Nurfitriani, N., & Hindersah, R. (2021). Impact of rice-biased policy on local food system in Kepulauan Tanimbar District, Maluku Province, Inconesia. Sustainable Islands Development Initiatives – International Conference 2019 (pp. 1-13). Surabaya: Purpose-Led Publishing. doi::10.1088/1755-1315/649/1/012025

Pambudy, N. M. (2023, Februari 9). Sitasi 2021: Hampir 80 Persen Petani Berskala Kecil. Kompas.id. From https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/02/07/sitasi-2021-hampir-80-persen-petani-berskala-kecil

Seminar, A. U., Sarwoprasodjo, S., Santosa, D. A., & Kinseng, R. A. (2017). Agroecological Education Aimed at Achieving Food Sovereignty. Journal of Developments in Sustainable Agriculture, 12(Developments in Sustainable Agriculture), 34-44.

Vivero, J. L. (2013, Oktober 16). Ourworld. From United Nations University (UNU) global website : https://ourworld.unu.edu/en/why-food-should-be-a-commons-not-a-commodity

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.