Negara dan Paradoks Digitalisasi: Telaah Komparatif Dampak Digitalisasi di Estonia dan China

Teknologi digital saat ini mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dalam setidaknya 30 tahun terakhir, proses digitalisasi di banyak negara telah menyentuh berbagai aspek kehidupan. Mulai dari e commerce, e-business, e-learning, e-media, and e-government (Berdykulova, 2014). Berbagai literatur mengenai digitalisasi umumnya memuat analisis yang relatif serupa dan mencitrakan bahwa proses digitalisasi sebagai proses yang selalu menghadirkan dampak positif dan seragam (Bank Dunia, 2009). Namun demikian, apakah benar bahwa digitalisasi selalu melahirkan dampak yang seragam dan positif?           

Perkembangan mengenai diskursus dan praktik terkait tata kelola digital saat ini justru diwarnai oleh berbagai polarisasi. Pertama adalah polarisasi antara open governance dan digital surveillance. Pada satu sisi, beberapa negara membangun tata kelola digital yang dominan mengusung praktik keterbukaan informasi. Prinsip dasarnya adalah pemberian akses kepada warga negara untuk menikmati layanan digital secara terbuka. Negara yang dianggap sebagai best practice dari open governance adalah Estonia. Pada sisi lain, beberapa negara membangun tata kelola yang dominan mengusung praktik pengawasan (surveilans) digital oleh negara kepada warga negara. Prinsip dasarnya adalah menghimpun informasi terkait aktivitas warga negara sebagai input pengambilan kebijakan. Negara yang terdepan menerapkan tata kelola yang dominan ke arah surveillance state adalah China.

Polarisasi kedua muncul akibat perbedaan orientasi atas tata kelola digital yang dianut. Polarisasi ini terjadi antara tata kelola digital yang berorientasi pada pelayanan publik dan orientasi pada stabilitas publik. Pada satu sisi, terdapat berbagai negara yang membangun tata kelola digital sebagai instrumen untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Misalnya melalui digitalisasi data kependudukan, perizinan hingga perpajakan. Negara yang terdepan dalam orientasi ini adalah Estonia dengan platform e-Estonia. Pada sisi lain, terdapat berbagai negara yang membangun tata kelola digital sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas publik. Misalnya melalui pengumpulan data identitas, aktivitas dan mobilitas warga negara dengan berbagai skema oleh negara. Negara yang terdepan dalam orientasi ini adalah China dengan platform Social Credit System (Shèhuì Xìnyòng Tǐxì).

Menariknya, sebelum pandemi COVID-19 narasi dominan terkait digitalisasi didominasi oleh tata kelola berprinsip open governance dengan orientasi pelayanan publik. Namun, setelah kehadiran pandemi COVID-19 justru tata kelola berprinsip surveillance state dengan orientasi stabilitas publik terus menguat di berbagai negara. Di China melalui teknologi deteksi wajah dan teknologi pelacakan berbasis telepon seluler. Di Korea Selatan melalui infrastruktur smart city yang mencakup pelacakan mobilitas warga negara berbasis telepon seluler, CCTV bahkan kartu kredit. Di Hong Kong melalui aplikasi telepon seluler yang dirancang khusus untuk pelacakan mobilitas warga. Di Indonesia sendiri terdapat platform PeduliLindungi yang kini bertransformasi menjadi SatuSehat dengan fungsi pengawasan mobilitas. Lebih lanjut, terkhusus di Indonesia sendiri, saat ini muncul RUU Penyiaran yang dianggap sebagai instrumen surveilans digital bagi aktivitas netizen di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan pada paragraf-paragraf sebelumnya maka terdapat urgensi untuk melakukan analisis komparatif terkait digitalisasi. Utamanya untuk membandingkan bagaimana digitalisasi dilakukan dan apa dampaknya di dua negara yang menjadi representasi dari open governance berorientasi pelayanan publik yaitu Estonia dan representasi dari surveillance state berorientasi stabilitas publik yaitu China.

Tulisan ini membandingkan dua proses digitalisasi dan dampak yang dihasilkan di dua negara yaitu Estonia dan China. Komparasi diawali dengan menganalisis digitalisasi di Estonia kemudian dilanjutkan dengan digitalisasi di China. Sebelum kemudian ditarik kesimpulan mengenai perbedaan proses dan output dari digitalisasi yang dilakukan. Analisis secara komparatif diharapkan dapat memberikan perspektif dan pemahaman yang lengkap bagi pembaca mengenai tata kelola digital, orientasi digitalisasi yang dilakukan dan dampaknya bagi warga negara. Selain itu, diharapkan dapat juga menjadi referensi untuk memperkaya diskursus mengenai digitalisasi di Indonesia. Utamanya terkait bagaimana proses, orientasi dan digitalisasi yang idealnya dikedepankan di Indonesia.

Estonia

Estonia menjadi negara yang bisa dikatakan paling menarik dalam studi terkait digitalisasi sektor publik. Negara ini memiliki prinsip digitalisasi yang disebut sebagai Estonian Credo. Kredo ini secara lengkap berbunyi, “we constantly seek and develop new digital solutions that allow things to get done faster, better, and cheaper”. Estonia memulai digitalisasi dengan melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, Estonia melakukan investasi besar-besaran untuk melakukan digitalisasi informasi dan layanan publik pada 1990-an. Kedua, Estonia mengeluarkan berbagai kebijakan yang menunjang transformasi digital ini. Salah satunya adalah payung hukum atas akses universal warga negara terhadap internet. Parlemen mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa hak atas akses internet adalah hak setiap warga negara. Hal ini mendorong negara untuk membangun jaringan telekomunikasi ke seluruh penjuru Estonia. Dalam perkembangannya, proses digitalisasi ini melahirkan sebuah negara dengan layanan digital komprehensif bernama e-Estonia.

Digitalisasi di Estonia telah mencapai suatu tahap yang berskala nasional, lintas sektor, dan lintas aktor. Hal ini bisa dilihat dari berbagai platform yang tersedia misalnya Estonian Education and Information System (sistem pendidikan nasional berbasis digital), Data Embassy (kolaborasi dengan negara lain terkait pusat data), dan e-land Registry (digitalisasi sistem kepemilikan dan transaksi properti).

Kalvet (2012) menemukan bahwa e-Estonia dapat berhasil karena didukung adanya ekosistem kebijakan yang suportif untuk pengembangan inovasi berbasis digital. Kitsing (2011) menyatakan bahwa sektor privat juga memainkan peran penting karena secara proaktif membangun sistem perbankan berbasis internet. Hal ini berperan penting sebagai infrastruktur dasar bagi e-Estonia. Selain itu, digitalisasi sistem pemilihan umum juga memainkan peran penting dalam menghasilkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan warga negara. Sementara itu, Sai dan Boadi (2017) menemukan bahwa pendidikan memainkan peran penting bagi keberhasilan e-Estonia. Hal ini karena pendidikan yang berkualitas tinggi utamanya terkait TIK melahirkan masyarakat yang cakap secara teknologi. Terakhir, Tsahkna (2013) menekankan pentingnya peran dari digitalisasi data kependudukan yang memungkinkan akses layanan publik berbasis digital secara komprehensif di Estonia.  

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh e-Estonia Guide 2018 terdapat keberhasilan baik pada sektor pemerintahan, sosial, maupun ekonomi. Pemerintahan di Estonia misalnya berhasil melakukan digitalisasi sistem perpajakan secara komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan 99 persen layanan publik telah berbasis online dan tersedia 24 jam dalam 7 hari atau non-stop. Kemudian dari sektor sosial, 99 persen layanan medis dan 97 persen rekam medis telah berbasis digital. Selain itu, 85 persen sekolah telah terintegrasi dalam sistem e-School yang berbasis digital. Terakhir, dari sisi ekonomi Estonia telah mencapai 99 persen perusahaan terdigitalisasi dan 99 persen transaksi perbankan telah berbasis digital. Bahkan, proses perizinan perusahaan sebagai badan hukum hanya membutuhkan waktu rata-rata 18 menit.

Digitalisasi di Estonia melahirkan dampak lahirnya sebuah open governance. Hal ini dapat diidentifikasi dari tujuh prinsip digitalisasi yang dijalankan oleh Estonia. Pertama adalah prinsip desentralisasi dengan tidak adanya basis data yang terpusat. Kedua adalah prinsip interkonektivitas dengan saling terintegrasinya berbagai basis data yang ada baik pada sektor publik maupun privat. Ketiga adalah prinsip integritas dengan adanya penggunaan sistem berbasis blockchain. Keempat adalah prinsip platform terbuka yang membolehkan seluruh organisasi untuk menggunakan infrastruktur e-Estonia. Kelima adalah prinsip no legacy yang mendorong adanya perubahan adaptasi teknologi dan hukum secara berkesinambungan mengikuti perkembangan zaman. Keenam adalah prinsip once only yaitu pencatatan data hanya dilakukan sekali oleh satu institusi saja. Ketujuh adalah prinsip transparansi dengan adanya fitur log files yang memungkinkan warga negara untuk mengetahui penggunaan data mereka.

China

Pengembangan teknologi dan digitalisasi di China lebih diarahkan untuk membangun kapasitas ekonomi. Alhasil, proses yang dilakukan berbasis pada kebijakan-kebijakan yang lebih diarahkan pada akselerasi pertumbuhan ekonomi. Langkah strategis yang dilakukan adalah dengan membangun berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Special Economic Zone. Shenzhen merupakan KEK yang difokuskan untuk pengembangan teknologi dan digitalisasi. KEK ini menjadi pilar utama pengembangan teknologi dan digitalisasi di China (Yueh, 2013). Kebijakan KEK ini dikombinasikan dengan berbagai instrumen kebijakan lain misalnya Zizhu Chuangxin (Autonomous Innovation) dan Made in China 2025.

Digitalisasi yang terjadi di China melahirkan sebuah situasi yang paradoks. Pada satu sisi, digitalisasi berhasil mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi di China (UNCTAD, 2022). Hal ini mendorong kesejahteraan yang meningkat di China. Masifnya perkembangan ekonomi digital di China dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Grafik 1 Pertumbuhan Nilai Ekonomi Digital China 2025-2022 dalam Triliun Yuan

Sumber: Statista

Pada sisi lain, digitalisasi di China justru tidak mengarah pada lahirnya open governance namun justru melahirkan surveillance state. Menariknya, embrio dari surveillance state di China justru dimulai dari digitalisasi data medis forensik pada awal 2000-an. Dirks dan Leibold (2020) menyatakan bahwa keberhasilan digitalisasi data medis forensik pada beberapa daerah dilanjutkan dengan perluasan skala nasional. Proyek yang dinamai Nationwide Y-STR Database ini utamanya dijalankan oleh Kementerian Keamanan Publik (Ministry of Public Security) China.

China kemudian melakukan perluasan praktik surveillance state melalui program sistem kredit sosial (social credit system). Hoffman (2019) dalam studinya menyatakan bahwa pemerintah China melalui sistem kredit sosial telah secara eksplisit memperluas kontrol politik terhadap warga. Sistem kredit sosial ini menggunakan pengumpulan data warga negara yang dinalisis untuk melakukan pengawasan dan mengatur perilaku warga negara. Sistem kredit sosial ini memberikan peringkat terhadap warga berdasarkan aktivitas yang dilakukan dan terekam secara digital. Feldstein (2019) bahkan menyatakan bahwa China saat ini adalah sebuah negara otoriter berbasis teknologi (authoritarian tech). Lebih lanjut, Feldstein juga menemukan bahwa otoritas pemerintahan China bekerja bersama korporasi-korporasi China mencoba untuk mempromosikan praktik surveillance state ini sebagai model pemerintahan alternatif kepada dunia.

Kesimpulan

Tabel 1 Komparasi Digitalisasi di Estonia dan China

Negara

Input

Instrumen

Output Jangka Pendek

Output Jangka Panjang

Estonia

⮚         Anggaran

⮚         Teknologi

⮚         Regulasi

⮚         e-Estonia (program holistik dan komprehensif)

⮚         Keterbukaan informasi publik

⮚         Akselerasi Pelayanan publik

Open Governance

China

⮚         Anggaran

⮚         Teknologi

⮚         KEK

⮚         Zizhu Chuangxin

⮚         Made in China 2025

⮚         National Y-STR Database

⮚         Sistem Kredit Sosial

⮚         Akselerasi pertumbuhan ekonomi

⮚         Stabilitas sosial-politik

 

Surveillance State

Dampak dari digitalisasi di China menghasilkan situasi yang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Estonia. Digitalisasi di China justru tidak mengarah pada lahirnya open governance. Digitalisasi di China justru melahirkan sebuah surveillance state. Menariknya, digitalisasi di Estonia melahirkan dampak positif utama yaitu pelayanan publik yang aksesibilitasnya komprehensif. Namun, tidak terjadi suatu dampak positif pada aspek ekonomi yang menonjol. Sementara itu, di China lahir sebuah surveillance state yang menerobos batas-batas privasi warga negara. Namun, pada sisi lain terjadi pula dampak ekonomi yang luar biasa dari keberhasilan China menjadi pusat ekonomi digital dan mengeksploitasi nilai tambah ekonomi dari perkembangan ekosistem digital.

Kedua kasus ini dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia secara khusus dan negara-negara lain di dunia secara umum. Sebuah negara perlu untuk merencanakan secara komprehensif kebijakan digitalisasi yang dilakukan. Komprehensif dalam artian secara input perlu dilengkapi dengan teknologi-teknologi mutakhir yang tepat guna. Selain itu, secara proses juga perlu memperhatikan hak-hak warga negara atas privasi. Terakhir, secara output perlu diarahkan untuk mencapai open governance namun juga sekaligus menghasilkan nilai tambah ekonomi yang optimal.

Referensi

Bank Dunia. (2009). World development report 2009: Reshaping economic         geography. Bank Dunia. [online] diunduh pada 6 juni 2022 melalui

<https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/5991>

Berdykulova, G. M. K., Sailov, A. I. U., Kaliazhdarova, S. Y. K., & Berdykulov, E. B.       U. (2014). The emerging digital economy: case of Kazakhstan. Procedia-        Social and Behavioral Sciences, 109, 1287-1291.

EAS. E-Estonia guide 2018. [online] diunduh pada 16 Juni 2022 melalui            <https://e-estonia.com/wp-content/uploads/eestonia-guide-2018.pdf>

Feldstein, S. (2019). The global expansion of AI surveillance (Vol. 17).             Washington,    DC: Carnegie Endowment for International Peace.

Hoffman, S. (2019). Engineering global consent: The Chinese Communist Party’s     data-driven power expansion. [online] diunduh pada 12 Juni 2022 melalui             <https://www.jstor.org/stable/pdf/resrep23095.1.pdf>

Kalvet, T. (2012). Innovation: a factor explaining e-government success in        Estonia. Electronic Government, an International Journal, 9(2), 142-157.

Kitsing, M. (2011, September). Online participation in Estonia: active voting, low      engagement. Proceedings of the 5th international conference on theory and practice of electronic governance (pp. 20-26).

Leibold, J., & Dirks, E. (2020). Genomic surveillance: Inside China’s DNA   dragnet. The Strategist.

Sai, A. A., & Boadi, P. O. (2017). A Bundled Approach to Explaining Technological Change: The Case of e-Estonia. European Journal of Business and   Management, 9, 1-17.

Statista. (2024). Market size of the digital economy in China in selected years    from 2005 to 2022(in trillion yuan). [online] diakses pada 16 April 2024       melalui

<https://www.statista.com/statistics/1250080/china-digital-economy-        size>

Tsahkna, A. G. (2013). E-voting: lessons from Estonia. European View, 12(1),    59-       66.

UNCTAD. (2022). China’s structural transformation: what can developing      countries learn?. [online] diakses pada 10 Mei 2022 melalui

<https://unctad.org/webflyer/chinas-structural-transformation-what-   can-developing-countries-learn>

Yueh, Linda. (2013). China’s growth: The making of an economic superpower.    Oxford: Oxford University Press.

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.