AI untuk Memoles Citra Politisi dalam Pilpres 2024: Apa yang Harus Kita Ketahui?

,

Membangun Imej Politik

Politik adalah perkara memunculkan citra atau imej yang ingin dipersepsikan oleh publik, yang mungkin berbeda dari penampakan atau watak orisinil para politisi atau partai politik. Citra ini dibentuk untuk memoles persona untuk menciptakan imej politik yang dikehendaki. Namun, argumen ini memunculkan kritik dari para ilmuwan politik karena imej politik hanya menawarkan gaya ketimbang substansi, menekankan pada persona daripada tawaran kebijakan, dan hanya memenuhi keinginan konstituen daripada menciptakan warganegara yang kritis (Scammell, 2015). Fokus pada imej juga dianggap memberi ancaman pada nilai-nilai demokrasi; imej adalah ilusi, buatan, dan manipulatif (Simons, 2006 in Scammell, 2015). Meskipun demikian, pembentukan imej masih menjadi strategi dominan yang didorong politisi atau partai politik untuk meningkatkan kansnya agar terpilih ke jabatan politik.

Fenomena penciptaan imej ini dapat ditelisik ketika televisi masih menjadi corong informasi dan komunikasi yang dominan. Kehadiran kandidat politik di televisi harus diatur sedemikian rupa sehingga dokumentasi berupa foto atau video kampanye dapat menciptakan dokumentasi yang powerful yang dapat mendorong citra yang diinginkan (Shea & Burton, 2001 dalam Schill, 2012). Wajah yang ekspresif dan gestur yang menarik, didukung oleh pencahayaan yang pas, setting latar yang sesuai, hingga tampilan mode pakaian yang diatur oleh tim akan menciptakan foto atau video yang mampu menyebarkan selera, imej, warna, bahkan gerakan untuk mendukung kandidat tersebut (Schill, 2012). Lantas bagaimana pembentukan imej politik dengan kehadiran artificial intelligence (AI) ini?

Penggunaan AI dalam Kampanye Politik

Kehadiran internet dan media sosial telah mendorong kanal-kanal baru untuk bertukar informasi dan saling berkomunikasi di dunia maya. Penggunaan media sosial semakin digandrungi karena ia seakan mempersonalisasi aplikasi media sosial dengan penggunanya. Media sosial mengetahui kegemaran dan aktivitas kita, sehingga ia dapat menyuguhkan konten-konten yang diinginkan. Hal ini didorong oleh penggunaan algoritma data oleh perusahaan media sosial yang bertujuan untuk menyortir data atau konten yang tersedia di platform tersebut, dan menyuguhkan data berdasarkan analisis dan aktivitas pribadi kita, baik di dunia nyata maupun di dunia maya (Golino, 2021). Sistem algoritma inilah yang kemudian menjadi basis data untuk dianalisis oleh berbagai bentuk AI (baca: machine learning (ML), deep learning, dan natural language processing) (Ferm, et al., 2023) seperti untuk iklan dan marketing, personalisasi konten, dan memonitor percakapan di dunia nyata untuk ditranslasikan di dunia maya (Sadiku et al, 2021).

Dalam politik praktis, penggunaan AI telah memberikan warna baru dalam kampanye politik. AI mampu membantu partai politik atau para politisi untuk membaca pikiran dan perilaku pemilih di media sosial. Aktivitas pengguna media sosial berfungsi sebagai big data yang dimasukkan dan dilatih ke dalam sistem AI atau algoritma ML, yang kemudian diproses untuk menghasilkan iklan-iklan kampanye politik yang menarget individu secara detail berdasarkan preferensi masing-masing (Safiullah & Parveen in Panda et al., 2022).

Tidak hanya itu, teknologi AI yang akhir-akhir ini menyeruak ke publik adalah generative AI (“GenAI”) yang menerapkan variasi machine learning (ML) pada sejumlah kumpulan data besar dan menghasilkan data baru berupa teks, gambar, audio dan video (Arguedas & Felix, 2023). Pengguna tidak perlu memiliki keahlian atau sertifikasi khusus dalam mengoperasikan GenAI, cukup dengan memberikan perintah lalu mesin algoritma tersebut mampu melacak perintah, menyuguhkannya dengan konten-konten yang diinginkan, namun dengan biaya yang murah dan waktu yang cepat. Ambil contoh pemilihan presiden Argentina di mana kedua kandidat, Sergio Massa dan Javier Milei, sama-sama menggunakan produk gambar AI (Nicas & Herrera, 2023). Massa mengilustrasikan dirinya sebagai pemimpin yang karismatik dan pemberani dibalik seragam militer. Sedangkan Milei menggunakan AI untuk mempersonifikasi dirinya dengan kartun singa yang menggemaskan.

Penggunaan AI untuk menggali pola preferensi pengguna media sosial dan untuk menyuguhkan konten-konten yang sesuai dengan perilaku pemilih membuat media sosial menjadi ranah yang semakin diperebutkan oleh partai politik atau politisi mengingat resources yang digunakan cukup mudah dan menghasilkan konten dalam waktu singkat.

Lantas bagaimana penggunaan AI untuk memoles imej politisi pada Pemilu 2024 di Indonesia?

AI dan Pilpres 2024

Inisiatif penggunaan AI dalam pemilu di Indonesia sudah bermunculan. Terdapat platform Pemilu.ai yang menyediakan jasa konsultansi menggunakan analisis algoritma untuk mengetahui aspirasi masyarakat di daerah pemilihan (Widodo, 2023). Selain itu, terdapat pula inisiatif Dirgayuza Setiawan yang menyusun buku 100 Ide untuk Presiden dan DPR Baru, Edisi Pemilu 2024 dengan bantuan GenAI (Pattisina, 2023).

Teknologi AI juga dikerahkan untuk memoles citra para politisi dan partai politik. Setidak-tidaknya, strategi ini didominasi oleh penggunaan GenAI dan teknologi deepfake. Salah satu kandidat presiden yang gencar berkampanye menggunakan teknologi AI adalah kubu Prabowo-Gibran. Pasangan calon ini meluncurkan foto dan video AI yang merepresentasikan muka Prabowo dan Gibran yang serupa dengan anak kecil. Alhasil, foto dan video AI ini semakin menggaungkan citra “gemoy” atau “gemas” pada figur Prabowo, berbanding terbalik dari citra Prabowo sebelumnya yang tegas dan berwibawa. Ada pula partai Golongan Karya (“Golkar”) yang menggunakan teknologi deepfake untuk ‘membangunkan’ mendiang Presiden Soeharto yang menyerukan publik untuk mencoblos pada 14 Februari mendatang. Strategi ini diambil untuk menunjukkan kejayaan Orde Baru dan diharapkan dapat mengerek elektabilitas Golkar (BBC Indonesia, 2024).

Meskipun tidak terlalu serius dalam menggarap konten visual berbasis AI, kubu Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud juga terkena efek dari teknologi AI ini. Kedua pasangan tersebut dibuatkan karakter AI nya oleh netizen dengan berkarakter anak kecil dan juga menaiki kuda lengkap dengan jubah layaknya akan berperang (Merdeka.com, 2023). Selain itu, kubu Ganjar-Mahfud juga meluncurkan aplikasi berbasis AI seperti “Ganjar Twin AI” untuk membantu pengguna membedah visi-misi serta berdiskusi dengan AI yang menirukan gaya bicara Ganjar (Simanjuntak, 2024).

AI untuk Memoles Citra: Apa yang Perlu Kita Ketahui?

Komunikasi politik kontemporer dibangun berdasarkan fondasi visual; kekuatan gambar jauh lebih berpengaruh daripada teks (Grabe & Bucy, 2009 dalam Schill, 2012). Peranan gambar sangat kuat dalam membangun emosi publik, serta dalam membangun persona politik yang diinginkan. Karena gambar bisa membangun emosi publik, publik merasa teridentifikasi atau terhubung dengan politisi atau partai politik tertentu (Burke, 1950 dalam Schill, 2012). Sehingga gambar tersebut memiliki kuasa untuk mempengaruhi publik, terlebih publik yang tidak familiar dengan kandidat.

Euforia penggunaan AI adalah bentuk konsekuensi dari kemajuan teknologi digital. Kehadiran AI telah memudahkan manipulasi figur politik agar sesuai dengan keinginan publik. Hal ini diamplifikasi oleh struktur algoritma media sosial yang menyimpan data aktivitas pengguna, yang kemudian menyuguhkan konten-konten yang sedang diperbincangkan banyak orang dan semakin tersirkulasi berdasarkan engagement seperti likes, retweet, dan komentar pengguna (Ünver, 2018). Fenomena ini kemudian menjerat pengguna media sosial hanya di dalam echo chamber-nya (Cabianca et al., 2020). Ketika hal ini terjadi, para politisi kemudian membanjiri media sosial dengan konten-konten yang diinginkan (Haidt & Schmidt, 2023) dan dapat menggiring dan memanipulasi opini publik.

Sejatinya fenomena ini adalah hal yang lumrah setidaknya sejak media sosial tumbuh sebagai kekuatan politik di Indonesia. Dalam ranah dunia maya,  kehadiran ‘pasukan siber’ yang terdiri dari buzzer, influencer, koordinator, dan pembuat konten bekerja sama untuk memanipulasi imej politik dan memengaruhi opini publik di media sosial (Wijayanto & Berenschot, 2021). Jejaring pasukan siber ini menerima “pesanan” oleh para pemodal, yang adalah bagian dari kelompok elit politik dan ekonomi, untuk tujuan: propaganda di media sosial, menggenjot popularitas, dan promosi kebijakan pemerintah (Wijayanto & Berenschot, 2021). Hal ini juga didorong oleh peran negara yang sangat suportif terhadap konglomerasi industri media dan pertumbuhan oligopoli media yang berdampak pada ekosistem digital yang terkonsentrasi pada kekuatan segelintir pebisnis media (Tapsell, 2018). Para taipan media melimitasi dan merajai konten-konten media sosial yang disirkulasi melalui konten-konten media konvensional yang telah diatur.

Pada akhirnya kehadiran AI dalam kampanye politik tidak banyak mengubah lanskap media dan demokrasi di Indonesia. Ia berjalan beriringan dengan maraknya penggunaan pasukan siber di media sosial yang sudah lebih dulu eksis. AI hanya menambah variasi alat kampanye politik dengan menghasilkan konten visual yang murah dan cepat sesuai perilaku pengguna media sosial, serta dapat menarget individu dengan lebih tepat sasaran.

Mengikuti pendekatan institusionalis, gelombang baru perubahan teknologi tidak serta merta mengubah struktur negara demokratis (Gibson, 2020). Sebaliknya, tentu akan ada proses reformasi dan pembaharuan secara bertahap, baik dari aspek legal formal maupun aspek sosial, akibat proliferasi teknologi digital tersebut. Namun yang pasti, kehadiran teknologi digital dapat merusak sistem demokrasi kita (Gibson, 2020) terutama apabila teknologi tersebut bergerak mengikuti keinginan pasar daripada menciptakan warga negara kritis.

Referensi

Arguedas, Amy Ross., & Simon, Felix M. (2023). Automating Democracy: Generative AI, Journalism, and the Future of Democracy. [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://ora.ox.ac.uk/objects/uuid:0965ad50-b55b-4591-8c3b-7be0c587d5e7/download_file?file_format=application%2Fpdf&safe_filename=Arguedas_and_Simon_2023_Automating_democracy__Generative.pdf&type_of_work=Report

BBC. (2024). Soeharto ‘dihidupkan lagi’ melalui AI, ajak coblos Golkar – Apakah ampuh mendongkrak elektabilitas partai?. [online] diakses pada 11 Januari 2024 melalui https://www.bbc.com/indonesia/articles/cgl6p4nv01no

Cabianca, Paige., Hammond, Peyton., Gutierrez, Maritza. (2020). What is a Social Media Echo Chamber? [online] diakses pada 15 Januari 2024 melalui https://advertising.utexas.edu/news/what-social-media-echo-chamber

Ferm, Lars-Erik Casper., Thaichon, Park., Quach, Sarah. (2023). AI and Its Implication for Data Privacy. [online] diakses pada 20 Februari 2024 melalui https://www.routledge.com/blog/article/ai-and-its-implications-for-data-privacy

Gibson, Rachel K. (2020). When the Nerds Go Marching In: How Digital Technology Moved from the Margins to the Mainstream of Political Campaigns. Oxford University Press

Golino, Maria Alessandra. (2021). Algorithms in Social Media Platforms. [online] diakses pada 20 Februari 2024 melalui https://www.internetjustsociety.org/algorithms-in-social-media-platforms

Haidt, Jonathan., & Schmidt, Eric. (2023). AI is about to make social media (much) more toxic. [online] diakses pada 20 Januari 2024 melalui https://www.theatlantic.com/technology/archive/2023/05/generative-ai-social-media-integration-dangers-disinformation-addiction/673940/

Merdeka. (2023). Gagahnya 3 Capres Digambarkan AI, Siapa Paling Ganteng? [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://www.merdeka.com/teknologi/gagahnya-3-capres-digambarkan-ai-siapa-paling-ganteng-40137-mvk.html?screen=1

Nicas, Jack., & Herera, Lucia Cholakian. (2023). Is Argentina the First AI Election?. [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://www.nytimes.com/2023/11/15/world/americas/argentina-election-ai-milei-massa.html

Pattisina, Edna Caroline. (2023). Ketika “Artificial Intelligence” Memberi 100 Ide untuk Capres Indonesia. [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/09/04/ketika-artificial-inteligence-memberi-100-ide-untuk-capres-indonesia

Sadiku, Matthew N.O., Ashaolu, Tolulope J., Ajayi-Majebi, Abayomi., & Musa, Sarhan M. (2021). Artificial Intelligence in Social Media. International Journal of Scientific Advances, 2(1), 15-20.

Safiullah, M., & Parveen, N. (2022). The New Advanced Society: Artificial Intelligence and Industrial Internet of Things Paradigm (S. K. Panda, R. K. Mohapatra, S. Panda, & S. Balamurugan, Eds.; pp. 247–259). Wiley.

Scammell, Margaret. (2015). Politics and Image: The Conceptual Value of Branding. Journal of Political Marketing, 14(1-2), 7-18.

Schill, Dan. (2012). The Visual Image and the Political Image: A Review of Visual Communication Research in the Field of Political Communication. The Review of Communication, 12(2), 118-142.

Simanjuntak, Surya Dua Artha. (2024). TPN Ganjar-Mahfud Luncurkan 4 Aplikasi, Salah Satunya Mirip ChatGPT. [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20240105/15/1729729/tpn-ganjar-mahfud-luncurkan-4-aplikasi-salah-satunya-mirip-chatgpt

Tappsell, Ross. (2018). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield International: New York.

Unver, Akin. (2018). Artificial Intelligence, Authoritarianism and the Future of Political Systems. EDAM Research Reports 2018/9. [online] diakses pada 15 Januari 2024 melalui https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3331635

Widodo, Yohanes. (2023). Politik dan Pemilu di Era Kecerdasan Buatan. [online] diakses pada 21 Februari 2024 melalui https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/15/politik-dan-pemilu-di-era-kecerdasan-buatan

Wijayanto & Berenschot, Ward. (2021). Organisation and funding of social media propaganda. [online] diakses pada 25 Maret 2024 melalui https://www.insideindonesia.org/editions/edition-146-oct-dec-2021/organisation-and-funding-of-social-media-propaganda

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.