Menyoal Ketentuan Pemungut PPN Digital Indonesia dan Thailand: Sudahkah Sesuai Goal Awal?
brief article, Revolusi DigitalPendahuluan
Selama beberapa tahun terakhir, terdapat kekhawatiran bahwa struktur pajak tradisional tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi digital yang pesat. Kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak melemah karena transaksi lintas batas akibat digitalisasi. Sementara, sektor produk digital terus berkembang meski pandemi Covid-19 telah melemahkan ekonomi global. Akibatnya, penerapan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang efektif pada perdagangan digital semakin urgen. Namun, terdapat tantangan utama terkait pemungutan PPN yang kurang efektif atas penjualan layanan online dan produk digital oleh penjual asing (OECD/WBG/ADB, 2022).
Indonesia dan Thailand telah merespons pertumbuhan ekonomi digital pada aspek perpajakan dengan memberlakukan pungutan PPN atas produk/layanan digital dari luar negeri. Di tengah transformasi dan digitalisasi, menjaga pendapatan PPN merupakan hal penting yang menjadi prioritas bagi banyak pemerintah di kawasan Asia Pasifik (OECD/WBG/ADB, 2022), termasuk Indonesia dan Thailand. Apalagi, PPN merupakan sumber penerimaan utama bagi Indonesia dan Thailand, yakni 29.2% dan 34.9% dari total penerimaan pajak masing-masing negara (OECD, 2023). Tulisan ini berpendapat bahwa Thailand memberikan opsi kebijakan yang lebih tepat untuk merespons tren digitalisasi. Alasannya adalah karena kebijakan yang diterapkan Thailand lebih berpeluang dalam mengoptimalisasi penerimaan pajak dari sektor digital dengan tetap mewujudkan iklim usaha yang adil bagi para pelakunya di dalam dan luar negeri.
Pengumpulan pajak Thailand lebih baik dibandingkan Indonesia. Hal ini berdasarkan data terkini dari OECD (2023), dimana tax-to-GDP ratio Thailand tahun 2021 adalah sebesar 16,4%, lebih tinggi 5,5% dibandingkan Indonesia (10,9%). Kontribusi penerimaan PPN terhadap total penerimaan pajak juga masih lebih tinggi Thailand, yakni sebesar 34.9% dibandingkan Indonesia sebesar 29.2% (OECD, 2023). Selain itu, komunitas perpajakan internasional menilai Thailand dapat menjadi contoh bagi pajak digital di ASEAN karena Thailand proaktif dalam mengadopsi praktik terbaik dari seluruh dunia. Thailand juga melakukan konsultasi publik dan berinteraksi secara informal dengan para pembayar pajak untuk mendapatkan umpan balik terkait hukum dan sistem pendaftaran PPN Digital (Jones, 2021).
Tujuan Kebijakan
PPN merupakan pajak yang dikenakan di tempat di mana konsumsi barang/jasa dilakukan (asas destinasi). Dengan kata lain, negara yang menjadi tempat konsumsi dapat mengenakan PPN kepada konsumen atas konsumsi barang dan jasanya, termasuk produk/layanan digital. Ketentuan PPN digital Indonesia menggunakan istilah barang digital/jasa digital sedangkan Thailand menggunakan istilah layanan elektronik. Meski menggunakan istilah yang berbeda, secara umum substansi objek pemajakan PPN digital di kedua negara hampir sama yaitu meliputi produk berbentuk informasi elektronik atau digital seperti aplikasi seluler, serta berbagai layanan digital seperti perangkat lunak, konten digital, layanan streaming, dsb, dimana tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya teknologi informasi.
Selama ini, atas impor produk/layanan digital yang dikonsumsi di Indonesia maupun Thailand belum dipungut perusahaan/platform luar negeri karena belum terdapat landasan hukum yang mewajibkan pemungutan PPN tersebut. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan berusaha bagi pelaku bisnis domestik yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)/VAT Registrant yang wajib memungut PPN atas barang/jasa kena pajak yang diserahkan. Kedua negara kemudian mengenakan PPN atas produk/layanan digital yang diserahkan pelaku usaha luar negeri dengan tujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha antar pelaku usaha dalam dan luar negeri baik konvensional maupun digital.
Pemungutan PPN atas produk/layanan digital impor Indonesia diterapkan sejak 1 Juli 2020 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022. Sedangkan Thailand mengenakan PPN sejenis berdasarkan The Revenue Code Amendment Act (No.53) B.E. 2564 (2021) sejak 1 September 2021. Dengan berlakunya ketentuan tersebut, produk digital seperti langganan streaming film dan musik, aplikasi digital, serta jasa daring dari luar negeri mendapat perlakuan PPN yang sama dengan produk/layanan yang diserahkan oleh pengusaha dalam negeri.
Melalui ketentuan ini, kedua negara juga bertujuan untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak dari sektor pajak dunia digital yang sangat potensial menjadi sumber baru peningkatan penerimaan negara. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan tumbuh 19% hingga $130 miliar pada tahun 2025, dan menjadi yang tertinggi di ASEAN. Thailand menyusul di peringkat kedua dengan perkiraan nilai ekonomi digital sebesar $53 miliar atau tumbuh sebesar 15% pada tahun 2025 (Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company, 2022). Potensi ekonomi digital tersebut bernilai cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai ladang penerimaan pajak baru.
Penunjukan VS Pendaftaran
Di Indonesia, PPN produk/layanan digital impor harus dipungut oleh Pedagang/Penyedia Jasa Luar Negeri, serta Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Luar dan Dalam Negeri dengan kriteria tertentu, yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Salah satu kriterianya adalah nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi 600 ratus juta rupiah dalam setahun. Berbeda dengan Indonesia, Thailand tidak menunjuk pemungut, namun mengharuskan pengusaha digital asing untuk mendaftar sebagai pemungut jika memenuhi kriteria yang ditetapkan. Kriteria tersebut adalah penyedia layanan/platform yang menyediakan jasa elektronik dari luar negeri kepada bukan pendaftar PPN (non-VAT registrant) di Thailand dengan omset lebih dari 1,8 juta baht dalam setahun.
Mekanisme penunjukan menyimpan risiko ketidakadilan yaitu produk/layanan digital impor dari pelaku usaha digital yang sudah memenuhi kriteria dan telah ditunjuk pemerintah, dikenakan PPN. Sementara, produk/layanan digital impor dari pelaku usaha digital yang sama-sama sudah memenuhi kriteria, namun belum ditunjuk sebagai pemungut, tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, tujuan pemerintah untuk menciptakan keadilan antar pelaku usaha belum sepenuhnya tercapai. Mekanisme pendaftaran yang diterapkan Thailand tidak memiliki isu ketidakadilan ini. Pengusaha digital asing yang sama-sama sudah memenuhi kriteria, wajib mendaftarkan diri menjadi pemungut dan memungut PPN produk/layanan digital.
Di sisi lain, mekanisme penunjukan memiliki potensi jeda waktu antara saat terpenuhinya kriteria sebagai pemungut dengan saat penunjukan. Pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan pajak selama masa jeda tersebut. Apalagi, ketentuan di Indonesia mengatur bahwa pelaku usaha yang telah memenuhi kriteria, namun belum ditunjuk sebagai pemungut, dapat menyampaikan pemberitahuan untuk ditunjuk sebagai pemungut. Kata “dapat” menunjukkan bahwa pemberitahuan tersebut bersifat opsional dan bukan kewajiban. Tidak ada konsekuensi jika tidak melakukan pemberitahuan bagi mereka yang telah memenuhi kriteria namun belum ditunjuk sebagai pemungut. Sebaliknya, pemerintah tidak berhak menagih PPN produk/layanan digital impor meski pelaku usaha telah memenuhi kriteria. Potensi kehilangan PPN produk/layanan digital impor semakin bertambah dengan ketiadaan peluang bagi pelaku usaha yang belum memenuhi kriteria untuk secara sukarela meminta agar ditunjuk sebagai pemungut.
Potensi kehilangan penerimaan PPN digital dapat diminimalisir melalui mekanisme pendaftaran. Tidak ada jeda waktu signifikan antara pemenuhan kriteria dengan kewajiban memungut PPN. Kapanpun penyedia layanan digital asing memenuhi kriteria, ia wajib mendaftarkan diri dan memungut PPN produk/layanan digital dalam jangka waktu 30 hari sejak omset tersebut terlewati. Jika tidak. pemerintah dapat mengenakan denda sebesar dua kali lipat PPN yang harusnya dipungut atau 1.000 Baht, mana yang lebih besar. Pemerintah Thailand juga membuka peluang bagi penyedia layanan digital asing yang belum memenuhi kriteria, untuk mendaftarkan diri sebagai pemungut secara sukarela. Mekanisme pendaftaran memungkinkan penerimaan dari sektor pajak dunia digital dapat dicapai dengan lebih optimal.
Besaran Omset
Salah satu kriteria untuk menentukan pemungut PPN produk/layanan digital impor di Indonesia dan Thailand adalah jumlah omset atau nilai transaksi dengan pengguna layanan di dalam negeri dalam satu tahun. Batasan omset bagi pemungut PPN digital yang ditunjuk di Indonesia menggunakan nilai yang lebih rendah dibanding batasan kewajiban pendaftaran PPN bagi pengusaha dalam negeri. Indonesia mewajibkan pengusaha dalam negeri yang memiliki omset di atas 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun untuk mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN. Namun, batasan omset pelaku usaha digital yang ditunjuk sebagai pemungut PPN produk/layanan digital impor adalah 600 juta rupiah. Di satu sisi, hal ini dapat menimbulkan isu ketidakadilan bagi pelaku usaha digital, namun, di sisi lain, batasan yang lebih rendah memungkinkan pemerintah menunjuk lebih banyak pelaku usaha asing sebagai pemungut sehingga lebih berpeluang mencapai tujuan optimalisasi penerimaan pajak.
Hal ini berbeda dengan Thailand yang menyamakan nilai minimal omset pemungut tersebut dengan nilai kewajiban pendaftaran PKP (VAT registrant) dalam negeri yaitu 1,8 juta baht dalam satu tahun. Batas nilai yang sama tersebut sejalan dengan tujuan awal kebijakan PPN digital, yaitu menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi pelaku usaha dalam dan luar negeri.
Simpulan
Pertumbuhan ekonomi digital telah direspon Indonesia dan Thailand dengan memberlakukan kebijakan mengenai pemungutan PPN atas produk/layanan digital impor. Selain bertujuan untuk menambah penerimaan pajak yang memanfaatkan tren digitalisasi, ketentuan PPN atas produk/layanan digital impor juga ditujukan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha antar pelaku usaha dalam dan luar negeri baik konvensional maupun digital. Secara teknis, ketentuan mekanisme pendaftaran pelaku usaha digital asing dan batasan omset yang diterapkan Thailand lebih sesuai dengan tujuan awal perumusan kebijakan PPN produk/layanan digital impor tersebut dibandingkan dengan ketentuan penunjukan pemungut dan batasan omset yang berlaku di Indonesia.
Referensi
Direktur Jenderal Pajak. (2020). Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-12/PJ/2020 tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
- (2023). EY Worldwide VAT, GST and Sales Tax Guide 2023. Retrieved from https://www.ey.com/en_gl/tax-guides/worldwide-vat-gst-and-sales-tax-guide
Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company. (2022). Google, Temasek and Bain, e-Conomy SEA 2022. Retrieved from https://economysea.withgoogle.com/report/
Jones, A. (2021). Thailand Could Set an Example for ASEAN E-services Taxes. International Tax Review, Retrieved from https://www.proquest.com/scholarly-journals/thailand-could-set-example-asean-e-services-taxes/docview/2518024969/se-2
OECD/WBG/ADB. (2022). VAT Digital Toolkit for Asia-Pacific. OECD. Retrieved from https://www.oecd.org/tax/consumption/vat-digital-toolkit-for-asiapacific.htm.)
OECD. (2023). Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 ─ Indonesia. OECD. Retrieved from https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf
OECD. (2023). Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 ─ Thailand. OECD. Retrieved from https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-thailand.pdf
Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
The Revenue Departement. (2022). A Guide on VAT on Electronic Service Provided to Non-VAT Registrants in Thailand by Non-resident Business Person (Second Edition). Retrieved from https://www.rd.go.th/fileadmin/download/eService.pdf
—-. (2022, November 24). 140 Foreign E-service Providers Pay Up to THB600 Million VAT per Month. The Nation. https://www.nationthailand.com/thailand/policies/40022402
Astuti, Melani. (2021). Menciptakan Kesetaraan dalam Pengenaan PPN Digital. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/opini/20210210115756-14-222398/menciptakan-kesetaraan-dalam-pengenaan-ppn-digital
Bangkok Post Editorial Team. (2021, September 6). Good Start on Digital Tax. Bangkok Post. https://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/2176943/good-start-on-digital-tax.
Hifni, Novita. (2020, Juli 28). PPN Produk Digital Demi Kesetaraan. Majalah Pajak. https://majalahpajak.net/ppn-produk-digital-demi-kesetaraan/
Komisi XI. (2020, Juni 6). Pajak Digital, Jadi Sumber Pendapatan Baru Negara. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/28938/t/javascript
Reuters Staff. (2020, Juni 9). Thailand proposes to Tax Foreign Internet Companies. Reuters. https://www.reuters.com/article/us-thailand-tax-digital-idUSKBN23G1K0
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!