Fenomena New Public Sphere: Disrupsi Media Sosial yang Mempengaruhi Gaya Artikulasi Kepentingan Publik Masa Kini
brief article, Revolusi DigitalHumida (2015) meyakini bahwa ketika teknologi tertentu diadopsi secara luas, maka hal itu akan mengubah masyarakat dengan cara yang luar biasa. Pernyataan Humida (2015) menggambarkan bagaimana disrupsi media sosial memicu munculnya fenomena ‘new public sphere’ atau ruang publik baru yang mempengaruhi gaya artikulasi kepentingan publik masa kini. Keberadaan media sosial menawarkan alternatif bagi publik untuk memaksimalkan partisipasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Media sosial mengubah cara-cara advokasi lama melalui inovasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang semakin mempermudah publik dalam menyuarakan pendapatnya, mengawasi jalannya pembangunan dan pemerintahan, bahkan mampu mempengaruhi diskresi kebijakan (Smith & Niker, 2021).
Berbicara mengenai ruang publik, Mensch (2007) mendefinisikannya sebagai ruang di mana individu melihat dan dilihat oleh orang lain saat mereka terlibat dalam urusan publik. Sementara itu, dalam kaitannya dengan perkembangan media sosial, Smith dan Niker (2021) mengistilahkan ruang publik sebagai ruang di mana orang-orang dapat mengekspresikan pendapat dan bertukar pandangan tentang apa yang terjadi di masyarakat. Menurut Smith dan Niker (2021), memperoleh akses ke ruang publik dalam tatanan masyarakat demokratis merupakan salah satu fungsi negara yang tidak bisa dikompromi. Dalam hal ini, warga negara memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat, memberikan dukungan atau menggugat pandangan orang lain, dan memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber informasi. Pasalnya, hak-hak yang disebutkan merupakan perwujudan dari adanya partisipasi epistemik yang secara normatif harus dijamin oleh negara yang mengedepankan demokrasi.
Berkaitan dengan manifestasi atas kebutuhan ruang publik, sejumlah data menunjukkan bahwa media sosial berpotensi mengubah tatanan advokasi konvensional ke era demokrasi digital. Hal ini dapat terlihat dari besarnya intensitas penggunaan media sosial di Indonesia. Laporan We Are Social menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal 2023 telah mencapai 212,9 juta atau lebih dari 60,4% populasi di dalam negeri (Haryanto, 2023). Menurut prediksi Yonatan (2023), persentase jumlah pengguna media sosial di Indonesia diperkirakan akan terus melesat hingga mencapai angka 81,82% total pengguna dari seluruh populasi. Sementara itu, survei hasil kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC) melaporkan bahwa sejak tiga tahun terakhir (2020-2022), media sosial secara konsisten telah menjadi sumber atau saluran informasi utama bagi masyarakat Indonesia (Annur, 2023).
Menanggapi data di atas, Wike et.al (2022) secara terbuka mengafirmasi kemampuan media sosial dalam menciptakan ruang publik baru dengan membuat diskusi dan perdebatan mengenai masalah sosial politik menjadi lebih inklusif dan transparan. Jauh sebelum Wike et.al (2022), Stier et. al (2018) bahkan sudah lebih dulu mengawal narasi mengenai media sosial yang dinilainya mampu meningkatkan demokrasi melalui gagasan ruang publik baru yang memfasilitasi keterlibatan publik secara aktif dalam mengontrol kekuasaan negara. Untuk tinjauan yang lebih komprehensif, maka bahasan dalam tulisan ini selanjutnya akan mengeksplorasi bagaimana disrupsi media sosial melahirkan fenomena ruang publik baru yang mampu mempengaruhi gaya artikulasi kepentingan publik masa kini.
Pergeseran Media Lama ke Media Baru dan Munculnya Fenomena New Public Sphere
Menurut Lesage dan Natale (2019), gagasan media baru lahir dari penggabungan keunikan antara media digital dan media tradisional. Kemunculan media baru ditandai dengan adanya internet dan menguatnya penggunaan media sosial. Perkembangan ini pun diyakini Jandevi (2019) sebagai akhir dari eksistensi media massa atau media lama yang selama ini menjadi saluran utama komunikasi politik pada era baru. Fenomena pergeseran media lama ke media baru ini diklasifikasikan ke dalam ‘third age of political communication’, hal ini terjadi karena media baru mampu memberikan informasi yang berlimpah dan kemampuan akses yang lebih cepat (Blumler & Kavanagh, 1999).
Dalam kaitannya dengan kajian komunikasi politik, Menke dan Schwarzenegger (2019) memaparkan bahwa terdapat perbedaan fundamental antara media lama dan media baru yang tidak bisa diabaikan. Menurut Menke dan Schwarzenegger (2019), struktur media lama terdiri dari sekelompok kecil produser elit yang membentuk ruang penyiaran publik, memutuskan apa yang dianggap penting dan tidak penting untuk dikonsumsi oleh publik. Misalnya, sebelum adanya internet, orang mengandalkan surat kabar dan TV untuk penyiaran dan memperoleh informasi, dimana media-media tersebut dimiliki oleh perusahaan besar yang berpotensi dapat mengintervensi penyiaran. Maka dari itu, Menke dan Schwarzenegger (2019) mendeskripsikan infrastruktur media lama seperti sistem analog satu arah (top-down) atau piramidal di mana elit produsen mengirimkan komunikasi satu arah ke banyak penerima. Hal tersebut pada akhirnya membentuk sistem penyiaran yang terbatas, eksklusif, dan juga pasif.
Berbeda dengan media lama, Amankwah dan Mbatha (2019) menjelaskan bahwa infrastruktur yang dihadirkan oleh media baru mempromosikan subjek yang lebih aktif dan kritis. Hal ini karena model penyiaran media baru atau media digital telah didukung oleh kemampuan internet sehingga model jaringannya cenderung berjejaring dan bersifat interaktif. Melalui arsitektur jaringan tersebut, maka arus interaksi yang terjadi adalah komunikasi dua arah yang bisa saling mempengaruhi. Humida (2015) mengungkapkan bahwa model jaringan pada media baru lebih terdesentralisasi dengan banyak produsen dan konsumen dalam dialog konstan satu sama lain sehingga hal ini pada akhirnya meruntuhkan hierarki dan melahirkan interaktivitas yang memberi kesetaraan bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses penyiaran.
Selain itu, dukungan internet dalam media baru membuat penyebaran informasi seputar aktivitas-aktivitas politik yang membutuhkan pengaruh dan dampak dapat dipublikasikan dengan lebih cepat dan lebih mudah dijangkau banyak orang. Kruse et. al (2018) mengungkapkan bahwa media sosial mengalami perkembangan yang pesat karena arus operasionalisasinya menciptakan interkoneksi sehingga setiap orang dapat terhubung dengan mudah ke dalam sistem politik tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu. Adanya interkoneksi pada media sosial pada akhirnya melahirkan suatu ruang publik baru (new public sphere) yang dimanfaatkan banyak orang untuk menyuarakan opini politik dan tuntutan kepentingannya (Weij & Berkers, 2022).Â
Bakti et. al (2017) menjabarkan empat argumentasi yang menjelaskan bagaimana interaksi yang ada di dalam media sosial dapat memunculkan ruang publik baru. Pertama, interaksi virtual yang terjadi di dalam media sosial menjadi tempat yang menarik bagi lahirnya public attentive seperti komunitas pengontrol atau kelompok penekan yang kerap menyuarakan isu-isu politik dan hal ini tidak dapat diintervensi atau dibendung oleh negara. Kedua, interaksi virtual dalam media sosial bersifat borderless sehingga setiap individu secara personal memiliki kebebasan untuk mengekspresikan berbagai hal. Ketiga, interaksi di dalam media sosial berpeluang menciptakan kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness) atas suatu isu politik tertentu yang sengaja dimunculkan ke permukaan agar membangkitkan kesadaran publik. Keempat, interaksi virtual di dalam media sosial mempunyai dinamika yang unik dan cair karena mengakomodasi kebebasan individu yang sangat besar sehingga setiap individu dapat menggunakannya untuk beragam kepentingan.Â
TikTok sebagai Media Demokrasi DigitalÂ
Salah satu media sosial yang interaksi penggunanya berhasil membangun ruang publik baru ialah aplikasi TikTok. Penilaian ini didasarkan pada sejumlah data-data yang mendukung. Pada awal tahun 2023, aplikasi TikTok diketahui berhasil menjadi salah satu media sosial paling populer di dunia, jumlah penggunanya mencapai angka 1,05 miliar pengguna secara global (Annur, 2023). Masih dari sumber yang sama, Annur (2023) juga memaparkan data bahwa Indonesia menempati peringkat kedua untuk kategori negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, dengan total jumlah penggunanya mencapai 109,9 juta pengguna aktif. Data intensitas penggunaan aplikasi TikTok di Indonesia sudah menunjukkan adanya peluang bahwa aplikasi ini dapat menjadi media demokrasi digital melalui penciptaan ruang publik baru yang dapat memfasilitasi artikulasi kepentingan publik.
Komisi Independen Sadar Pemilu (KISP) dalam salah satu artikelnya secara terbuka meyakini bahwa aplikasi TikTok berpotensi besar menjadi politik alternatif bagi generasi milenial. KISP menilai bahwa aplikasi TikTok dapat dimanfaatkan sebagai platform yang menyuarakan hal-hal politik (KISP, 2022). Mendukung gagasan KISP, Jalli (2022) juga melihat aplikasi TikTok sebagai platform kekinian yang digemari anak muda untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Jalli (2022) mengidentifikasi adanya skema algoritma aplikasi TikTok yang cukup unik, yakni fokus distribusi kontennya tidak terletak pada jumlah pengikut dan siapa yang diikuti seperti algoritma media sosial lainnya. Oleh karena itu, distribusi konten pada aplikasi TikTok menjadi lebih inklusif.Â
Menurut Hindarto (2022), TikTok menjadi populer dan kini menyita perhatian banyak orang karena aplikasi ini memiliki dua fitur unggulan yang mempermudah penggunanya untuk menyatakan dan menyebarluaskan opininya, terutama opini yang mengandung unsur politik dan kebijakan publik. Adapun dua fitur unggulan yang dimaksud ialah fitur tagar (#) dan halaman For Your Page (FYP). Mengutip penjelasan Hindarto (2022), tagar atau hashtag pada aplikasi TikTok merupakan fitur yang dapat dimanfaatkan oleh para pengguna untuk menganalisis tren yang sedang viral, menciptakan ruang visibilitas bersama, atau mengeksplorasi akun-akun pengguna lainnya yang memiliki kesamaan minat. Sementara halaman FYP memiliki kemiripan dengan tampilan ‘Beranda’ yang ada pada Facebook, perbedaannya terletak pada distribusi konten yang muncul. Berkat algoritma TikTok yang unik, kedua fitur ini secara perlahan mempengaruhi gaya artikulasi dan advokasi kepentingan publik masa kini. Sejak menjadi aplikasi yang populer, TikTok berhasil membuat gebrakan dengan adanya konten kreator yang membuat konten-konten advokasi seputar pelayanan publik dan urusan pemerintahan.Â
Presiden Gen-Z, Konten Kritik Lampung, dan Diskriminasi ASN
Setidaknya terdapat tiga contoh yang merepresentasikan fenomena ruang publik baru terbentuk di media sosial dan mempengaruhi gaya artikulasi kepentingan publik masa kini. Pertama, kemunculan tokoh anak muda dengan konten-kontennya yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah dan situasi politik di Indonesia. Mengutip artikel yang ditulis oleh Yudha (2022), Rian Fahardhi atau biasa dikenal dengan sebutan ‘Presiden Gen-Z’ merupakan seorang konten kreator TikTok asal Sulawesi Selatan yang kini tengah populer karena keberaniannya dalam mengkritisi isu-isu hukum, politik, budaya, lingkungan, dan kebijakan publik. Melalui akunnya dengan user name @rianfahardhi, Rian Fahardhi menyampaikan aspirasinya dengan gayanya yang khas, yakni berupa narasi satir atau sindiran-sindiran yang kerap berhasil memancing perhatian publik.Â
Kedua, adanya konten viral seorang mahasiswa yang mengkritik pembangunan infrastruktur di kampung halamannya. Mengutip artikel yang ditulis oleh Putri (2023), diketahui bahwa Bima Yudho Saputro merupakan seorang konten kreator di TikTok yang pernah menjadi perbincangan hangat setelah konten kritiknya yang diberi judul ‘Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-Maju’ tersebar viral dan mendapat banyak respon dari berbagai pihak. Terlepas dari kontroversinya, konten kritik Bima Yudho Saputro telah berhasil menunjukkan kreativitas anak muda dalam menyuarakan aspirasinya di media sosial melalui gaya presentasinya yang sangat terbuka dan apa adanya. Berita baiknya, konten kritik ini bahkan mampu mempengaruhi kebijakan, hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat turun tangan untuk menangani langsung masalah infrastruktur di Lampung.Â
Ketiga, viralnya konten seorang guru di media sosial yang memilih mundur setelah mendapatkan diskriminasi oleh oknum Pemerintah Daerah. Mengutip artikel yang ditulis oleh Agatha (2023) dipaparkan bahwa Husein Ali Rafsanjani selaku guru sekaligus aparatur sipil negara (ASN) mengunggah konten curahan hatinya atas perlakuan diskriminasi yang didapatkannya setelah membongkar dugaan pungutan liar (pungli) oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Sontak saja konten tersebut viral dan memancing emosi publik yang mengutuk tindakan pungli maupun diskriminasi yang dialami oleh Husein Ali Rafsanjani. Berkat keberanian dan kejujurannya dalam mengungkap ketidakadilan birokrasi yang diterimanya, Husein Ali Rafsanjani tidak hanya mendapat simpati publik, namun kasusnya juga langsung mendapatkan respon dan penanganan cepat dari Ridwan Kamil selaku Gubernur Provinsi Jawa Barat.Â
Meskipun memiliki gaya artikulasi yang berbeda-beda, namun ketiganya sama-sama memosisikan diri sebagai public attentive yang memanfaatkan ruang digital pada media sosial untuk menyuarakan opini dan tuntutannya. Pada akhirnya, pemanfaatan interkoneksi media sosial dalam menyuarakan isu sosial dan politik menciptakan kesadaran publik untuk ikut terlibat dan mempengaruhi diskresi kebijakan. Melalui interaksi media sosial, publik diberikan beragam kesempatan dan pilihan untuk menyampaikan pendapatnya secara kreatif dan inovatif. Tentu saja momen ini perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari kemajuan demokrasi digital yang menumbuhkan partisipasi publik.Â
Referensi
Annur, Cindy Mutia. Pengguna TikTok di Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia per April 2023, Nyaris Salip AS. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/24/pengguna-tiktok-di-indonesia-terbanyak-kedua-di-dunia-per-april-2023-nyaris-salip-as, diakses pada 4 Agustus 2023.
Annur, Cindy Mutia. Media Sosial, Sumber Informasi Utama Masyarakat Indonesia.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/30/media-sosial-sumber-informasiutama-masyarakat-indonesia, diakses pada 29 Juni 2023.
Amankwah, A. S., & Mbatha, B. (2019). Unlocking the Potential of New Media Technologies for Political Communication about Elections in Ghana. Communicatio, 45(4), 44–63.
Bakti, A. F., Malik, D. K., Hariyanto, N. B., Buana, G., Heryanto, G. G., Rosit, M., Anggraeni, D., Prayitno, A., & Yuniar, R. (2017). Literasi Politik Dan Kampanye Pemilu. In FIKOM UP Press.
Blumler, J. G., & Kavanagh, D. (1999). The Third Age of Political Communication: Influences and Features. Political Communication, 16(3), 209–230.Â
Hindarto, I. H. (2022). Tiktok and Political Communication of Youth: a Systematic Review. JRP (Jurnal Review Politik), 12(September), 1–31.Â
Humida, T. (2015). New Media and Network Society: Teens Are More Into Social Media-Is That Addiction? IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS, 20(3), 68.
Jalli, Nuurrianti. Belajar dari Asia Tenggara, begini cara TikTok jadi wadah berpolitik.
https://theconversation.com/belajar-dari-asia-tenggara-begini-cara-tiktok-jadi-wadahberpolitik-155869, diakses pada 29 Juni 2023.Â
Jandevi, U. (2019). New media for increasing political participation in Indonesia. International Journal of Communication and Society, 1(1), 1–8.Â
Komisi Independen Sadar Pemilu (KISP). Media Sosial Tiktok sebagai Politik Alternatif Milenial,https://kisp-id.org/11/2021/tulisan/media-sosial-tiktok-sebagai-politikalternatif-milenial/, diakses pada 29 Juni 2023.
Kruse, L. M., Norris, D. R., & Flinchum, J. R. (2018). Social media as a public sphere? Politics on social media. Sociological Quarterly, 59(1), 62–84.Â
Lesage, F., & Natale, S. (2019). Rethinking the distinctions between old and new media: Introduction. Convergence, 25(4), 575–589.
Menke, M., & Schwarzenegger, C. (2019). On the relativity of old and new media: A lifeworld perspective. Convergence, 25(4), 657–672.Â
Mensch, J. (2007). Public space. Continental Philosophy Review, 40(1), 31–47.
Saputra, Tommy. TikToker Bima yang Kritik Lampung Resmi Dilaporkan ke Polisi. https://news.detik.com/berita/d-6676787/tiktoker-bima-yang-kritik-lampung-resmi-dilaporkan-ke-polisi, diakses pada 4 Agustus 2023.
Smith, L., & Niker, F. (2021). What Social Media Facilitates, Social Media should Regulate: Duties in the New Public Sphere. Political Quarterly, 92(4), 613–620.
Stier, S., Bleier, A., Lietz, H., & Strohmaier, M. (2018). Election Campaigning on Social Media: Politicians, Audiences, and the Mediation of Political Communication on Facebook and Twitter. Political Communication, 35(1), 50–74.
Weij, F., & Berkers, P. (2022). Artivist reception on Twitter: art, politics and social media. Information Communication and Society.Â
Wike, R., Clancy, L., Fetterolf, J., Silver, L., Huang, C., & Austin, S. (2022). Social Media Seen as Mostly Good for Democracy Across Many Nations, But U.S. is a Major Outlier. Pew Research Center.Â
Yudha, Tangguh. Rian Fahardhi, Presiden Gen Z, Konten Kreator Paling Cihui!.
https://www.inews.id/techno/internet/rian-fahardhi-presiden-gen-z-konten-kreatorpaling-cihui, diakses pada 29 Juni 2023.
Yonatan, Agnes. Menilik Pengguna Media Sosial Indonesia 2017-2026. https://data.goodstats.id/statistic/agneszefanyayonatan/menilik-pengguna-media-sosial-indonesia-2017-2026-xUAlp, diakses pada 4 Agustus 2023.
Â
Â
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!