Kesadaran Akan Hiperkonektivitas Sebagai Kompetensi Literasi Digital pada Generasi Milenial di Masa Pandemi COVID-19

, ,

Hiperkonektivitas, atau situasi saat masyarakat selalu terhubung dan berinteraksi dengan perantara teknologi, menjadi situasi yang tidak terelakkan pada masa pandemi Covid-19. Teknologi digital yang bertransformasi sebagai tumpuan untuk beraktivitas, mulai dari aspek pendidikan, sosial, hingga ekonomi, bagaikan pisau bermata dua: mempermudah manusia untuk saling terhubung saat dituntut untuk menjaga jarak fisik serta membatasi interaksi tatap muka, sekaligus menuntut manusia—yang selanjutnya disebut masyarakat digital—untuk fasih dan memiliki resiliensi agar terhindar dari dampak negatif saat menggunakan media digital.

Umumnya, kefasihan bermedia digital dijelaskan dalam lingkup bahasan literasi digital, yaitu konsep perpanjangan dari literasi dan literasi media. Secara paripurna, literasi digital harus mencakup empat aspek: (1) literasi media, yaitu kemampuan menginterpretasi pesan dalam berbagai bentuk media digital, kemampuan berpikir kritis, evaluasi dampak media; (2) kefasihan menggunakan teknologi digital; (3) tanggung jawab sosial dan etis; dan (4) imajinasi serta kreativitas (Lim et, al., 2009). Dengan adanya transformasi digital pada masa Covid-19, kompetensi literasi yang harus dimiliki pun meluas, mencakup penguasaan dan manajemen diri dalam hal konsumsi media digital untuk membangun resiliensi digital.

Generasi Y, yang lebih populer disebut sebagai milenial merupakan bagian dari masyarakat digital yang sangat rentan terperangkap dalam hiperkonektivitas. Dengan tingkat penetrasi internet sebesar 64%, atau 175.4 juta pengguna sejak pandemi (WeAreSocial & Hootsuite, 2020), disrupsi yang dihasilkan oleh transformasi digital pada masa pandemi Covid-19 mengubah pola interaksi generasi milenial secara signifikan,

Signifikansi ini dapat dilihat dari kacamata teori mediatisasi yang menganut nilai “technological determinism”. Argumen utama dari teori mediatisasi ialah bahwa media membentuk dan membingkai proses komunikasi masyarakat dan budaya (Lileker, 2008). Dengan demikian, pola interaksi dan perilaku masyarakat ketika berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang ditawarkan oleh media komunikasi yang digunakan. Pada situasi pandemi Covid-19, mediatisasi semakin kuat, karena frekuensi penggunaan media yang semakin tinggi, bahkan mendominasi kegiatan sehari-hari.

Meski diasumsikan lebih mudah beradaptasi dibandingkan generasi-generasi di atasnya karena lebih cepat memproses informasi visual, memiliki kemampuan multitasking, dan kreativitas serta imajinasi yang tinggi (Livingstone, 2011), Generasi Milenial tidak serta-merta terbebas dari permasalahan terkait literasi digital. Dalam hal ini, meningkatnya frekuensi penggunaan media pada masa pandemi Covid-19 yang disertai perubahan pola dan kebiasaan berinteraksi antar pengguna memicu dampak buruk, seperti digital burnout dan communication overload.

Digital Burnout dan Communication Overload sebagai Dampak Hiperkonektivitas

World Health Organization (WHO) mendefinisikan burnout secara psikologis dan kesehatan sebagai fenomena pekerjaan berupa stress yang sulit untuk diatasi, dengan gejala seperti kelelahan, kehabisan energi, rasa pesimis dan jenuh terhadap pekerjaan, hingga penurunan profesionalitas (WHO dalam Neath, 2021). Dalam era hiperkonektivitas, yaitu situasi saat masyarakat selalu terhubung serta bisa berinteraksi dengan siapa saja dengan memanfaatkan teknologi, dapat mengakses berbagai jenis teknologi komunikasi kapan saja dan di mana saja, kaya dengan informasi yang bahkan melebihi kapasitas konsumsinya, dan selalu merekam berbagai aktivitas yang mereka jalani secara daring dan luring. (Fredette et, al., 2012), pemicu burnout yang dihadapi masyarakat digital pun bertambah.

Secara lebih spesifik, pada konteks masyarakat digital di era pandemi Covid-19, tingginya frekuensi penggunaan media digital dan tuntutan untuk terus menerus online berdampak pada tingginya tingkat permasalahan psikologis, rasa tertekan, ketidaknyamanan dan kecemasan yang memicu burnout secara digital (digital burnout). Kerentanan untuk terjebak pada perilaku kompulsif saat menggunakan media digital juga turut berperan sebagai faktor terjadinya digital burnout (Sharma et,al., 2020).

Salah satu fenomena yang diasosiasikan dengan digital burnout adalah Zoom fatigue, yaitu keadaan di mana seseorang mengalami dampak buruk secara mental karena terlalu sering melakukan rapat/pertemuan virtual melalui layanan video-conferencing Zoom. Hal ini diakibatkan oleh 4 hal, yaitu: (1) frekuensi mata menatap layar yang tinggi, (2) beban kognitif, (3) evaluasi tinggi terhadap diri sendiri, dan (4) minimnya mobilitas secara fisik (Bailenson, 2021), serta mengakibatkan inefektivitas dalam komunikasi dan kinerja yang dilakukan dalam beragam aktivitas.

Besarnya beban kognitif yang dibawa oleh masyarakat digital juga memicu terjadinya communication overload, yaitu tuntutan untuk berkomunikasi melalui media-media komunikasi, khususnya media digital, yang melebihi kapasitas pengguna (Cho et, al., 2011), serta information overload, yaitu tuntutan pemrosesan informasi yang melebihi batas kemampuan individu (Karr-Wisniewski & Lu dalam Whelan et, al., 2017). Hal ini tidak terlepas dari fenomena fear of missing out (FoMO) pada generasi milenial, yaitu kekhawatiran individu bahwa dirinya akan tertinggal dengan orang lain yang dilihat melalui media digital, sehingga ia berusaha untuk mendapatkan informasi dan engagement yang tinggi di media sosial.

Resiliensi Digital untuk Mengelola Eksternalitas Negatif dari Hiperkonektivitas

Nyaris tidak mungkin bagi masyarakat digital untuk menghindar dari hiperkonektivitas, terlebih saat integrasi antara pekerjaan ‘nyata’ dan ‘maya’ di berbagai aspek kehidupan telah menjadi kenormalan baru pascapandemi Covid-19. Untuk itu, kemampuan untuk mengelola dampak buruk hiperkonektivitas, seperti digital burnout dan communication overload menjadi kompetensi literasi yang penting untuk dikuasai Generasi Milenial.

Ketegasan untuk menerapkan batasan (boundaries) memegang peran penting untuk melatih penguasaan diri. Generasi milenial dapat melatih penguasaan diri dengan menerapkan batasan pada setidaknya empat aspek, sebagaimana dipaparkan Sharma, et.al, (2020). Pertama, menerapkan jeda waktu saat menggunakan perangkat digital. Kedua, menentukan batasan waktu yang tegas untuk menyelesaikan pekerjaan maupun memenuhi kebutuhan hiburan secara online. Ketiga, mengupayakan waktu khusus untuk berkomunikasi secara tatap muka tanpa perantara layar. Keempat, tegas dalam menyikapi penggunaan perangkat digital menjelang waktu tidur, termasuk dengan menghindari konsumsi stimulus lain untuk terjaga lebih lama dan menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar.

Resiliensi dalam menyikapi hiperkonektivitas juga dapat membantu generasi milenial untuk dapat memahami hiperrealitas, yang didefinisikan Terashima (2001) sebagai wujud kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya integrasi antara realitas fisik dengan realitas virtual, dan kecerdasan manusia dengan kecerdasan artifisial. Pemahaman yang baik atas hiperrealitas dapat membantu generasi milenial untuk memiliki perspektif yang lebih baik dalam mengintepretasikan pesan di tengah serbuan informasi dalam dunia virtual, serta memahami ekosistem dalam media digital agar dapat terhindar dari jerat semacam echo-chamber dan polarisasi ekstrim yang dihasilkan.

Kesimpulan

Resiliensi digital menjadi bagian penting dari konsep literasi digital yang harus dikuasai generasi milenial untuk hidup dalam hiperkonektivitas pascapandemi Covid-19. Melalui penerapan batasan yang tegas atas konsumsi media digital, generasi milenial dapat melatih penguasaan dan manajemen diri yang baik saat kehidupan nyata dan maya semakin terintegrasi sebagai sebuah kenormalan baru.

Resiliensi ini diharapkan dapat membantu generasi milenial dalam mewujudkan perubahan tindakan dan pola penggunaan teknologi digital ke arah yang lebih baik, membentuk perspektif yang lebih luas, serta melatih kesiapan untuk menghadapi disrupsi dan dinamika teknologi komunikasi yang mungkin terjadi di masa depan.

Referensi

Bailenson, J. N. (2021). Nonverbal overload: A theoretical argument for the causes of Zoom fatigue. Technology, Mind, and Behavior2(1).

Cho, J., Ramgolam, D. I., Schaefer, K. M., & Sandlin, A. N. (2011). The rate and delay in overload: An investigation of communication overload and channel synchronicity on identification and job satisfaction. Journal of Applied Communication Research39(1), 38-54.

Fredette, J., Marom, R., Steiner, K., & Witters, L. (2012). The promise and peril of hyperconnectivity for organizations and societies. The global information technology report2012, 113-119.

Lilleker, D. G. (2006). Key concepts in political communication. Sage.

Lim, W. Y., Hung, D., & Cheah, H. M. (2009). An interactive and digital media literacy framework for the 21st century. In Tan Wee Hin, L. & E, Subramaniam (Eds.), Handbook of research on new media literacy at the K-12 level: Issues and challenges (pp. 119-127). IGI Global.

Livingstone, S. (2011). Internet, children, and youth. In M. Consalvo & C. Ess (Eds), The handbook of internet studies (pp.348-367). Blackwell Publishing.

Neath, N. (2021, April). Are you facing digital burnout? https://www.bacp.co.uk/bacp-journals/bacp-workplace/april-2021/are-you-facing-digital-burnout/

Sharma, M. K., Anand, N., Ahuja, S., Thakur, P. C., Mondal, I., Singh, P., … & Venkateshan, S. (2020). Digital burnout: COVID-19 lockdown mediates excessive technology use stress. World Social Psychiatry, 2(2), 171.

Terashima, N. (2001). The definition of hyperreality. In J. Tiffin. & N. Terashima (Eds.). (2001). Hyperreality: Paradigm for the third millennium (pp. 4-24). Psychology Press.

WeAreSocial & Hootsuite. (2020). Digital in 2020. Dari https://wearesocial.com/digital-2020.

Whelan, E., Islam, N., & Brooks, S. (2017). Cognitive control and social media overload. Twenty-Third Americas Conference on Information Systems, Boston MA.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.