Growth-sustainability Dilemma: Analisis Kontradiksi dan Kompleksitas Dinamika Kebijakan Energi di Indonesia
Tantangan Krisis Iklim dan Urgensi Pembangunan Infrastruktur
Kebijakan energi di Indonesia memiliki dinamika yang diwarnai dengan adanya kontradiksi, kompleksitas dan ketidakpastian. Pada satu sisi, ada kebutuhan untuk mengembangkan renewable energy dalam rangka mengatasi tantangan krisis iklim. Hal ini telah dianggap sebagai “Tantangan Besar Abad 21” (Mazzucato, 2018). Lebih lagi, berbagai tekanan internasional misalnya melalui UNFCCC 1994, Kyoto Protocol 2004, dan Paris Agreement 2016 turut menekan arah kebijakan untuk lebih pro sustainability. Pada sisi lain, agenda untuk mendorong pembangunan infrastruktur juga semakin meningkat urgensinya. Berdasarkan indeks infrastruktur dunia yang dikutip dari Statista (2019), peringkat infrastruktur Indonesia berada di urutan 72 dunia. Tertinggal dari Thailand (71), China (35), dan Malaysia (34). Ketertinggalan infrastruktur ini tentunya juga berdampak terhadap rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Berdasarkan laporan dari World Economic Forum (2019), daya saing ekonomi Indonesia berada di urutan 50 dunia. Peringkat ini berada di bawah Thailand (40), China (28), dan Malaysia (27).
Tantangannya adalah untuk mendorong pembangunan infrastruktur dibutuhkan anggaran publik dan investasi swasta yang besar. Lanskap energi di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa energi fosil utamanya batu bara menyumbang kontribusi ke anggaran negara secara signifikan. Baik dalam bentuk Pendapatan Pajak maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai gambaran, untuk pendapatan non pajak dari royalti energi batu bara saja mencapai Rp34,6 triliun pada tahun 2020 (CNBC Indonesia, 2021). Angka tersebut setara 85% dari total PNBP Minerba sekaligus menjadi penyumbang PNBP terbesar. Selain itu, dalam rangka mendorong investasi swasta dibutuhkan tarif listrik yang murah untuk mencapai return on investment yang menarik bagi investor. Menariknya, tarif listrik murah ini diwujudkan melalui konsumsi batu bara karena paling efisien secara harga dibanding sumber energi lain. Situasi ini membuat Indonesia bergantung pada komoditas mentah, utamanya sumber energi fosil.
Gambaran sebelumnya menjelaskan dilema yang dihadapi Indonesia akibat adanya growth-sustainability dilemma, yakni dilema akibat benturan kepentingan antara pentingnya renewable energy pada satu sisi dan urgensi pembangunan infrastruktur pada sisi lain. Situasi ini membuat kebijakan energi di Indonesia diwarnai dengan berbagai kontradiksi. Studi dari Ordonez dkk (2022) menemukan bahwa kebijakan energi di Indonesia dibuat untuk mencapai 4 tujuan yaitu: (1) mendukung pembangunan infrastruktur; (2) menjaga stabilitas fiskal; (3) mengamankan pasar untuk industri batu bara; dan (4) perlindungan lingkungan & iklim. Tujuan pertama, kedua, dan ketiga adalah tujuan kebijakan yang didorong oleh kebutuhan domestik. Sementara itu, tujuan keempat adalah tujuan yang didorong oleh tekanan internasional. Tujuan pertama, kedua, dan ketiga menguntungkan batu bara. Hanya tujuan keempat yang lebih menguntungkan renewable energy.
Kontradiksi Kebijakan
Lanskap kebijakan energi nasional di Indonesia juga menunjukkan kontradiksi yang menarik. Pada satu sisi, pemerintah menetapkan berbagai target kebijakan pro renewable energy yang bersifat high profile. Pemerintah melalui kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 29% dari Business-as-Usual (BaU) pada tahun 2030. Pemerintah juga mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional pada tahun 2014 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Pemerintah menetapkan target bahwa minimal 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 dari total bauran energi nasional akan berasal dari renewable energy.
Pada sisi lain, pemerintah juga memberikan berbagai insentif yang memberikan keuntungan kompetitif bagi batu bara terhadap renewable energy. Pertama, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan pembangkit listrik 35 GW yang 20 GW di antaranya bersumber dari batu bara. Kedua, pemerintah melalui Kementerian ESDM menetapkan harga jual batu bara untuk pembangkit listrik ke PLN pada angka $70/ton. Penetapan harga patokan batu bara ini diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2018 mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Penetapan angka $70/ton ini berada dibawah harga pasar sehingga membuat batu bara menjadi sangat kompetitif secara harga.
Kontradiksi kebijakan ini relatif lebih menguntungkan bagi batu bara. Hasilnya adalah batu bara semakin mendominasi sektor energi nasional sementara renewable energy relatif stagnan. Berdasarkan data dari BP Statistical Review of World Energy (2021), batu bara memiliki proporsi sebesar 66% dari total sumber pembangkit energi nasional. Sementara itu, renewable energy memiliki proporsi hanya 6%, angka ini cenderung stagnan sejak tahun 2014. Renewable energy bahkan masih jauh dibawah gas alam yang memiliki proporsi 19%. Lalu pertanyaannya adalah, “apa saja tantangan kebijakan yang membuat renewable energy tidak berkembang sementara batu bara terus berkembang di Indonesia?” Setidaknya ada tiga tantangan yaitu rintangan finansial, rintangan politik, dan rintangan kebijakan. Ketiganya akan dijelaskan pada 3 paragraf berikutnya.
Tantangan Finansial
Rintangan pertama yang dihadapi dalam pengembangan renewable energy di Indonesia adalah terkait rintangan finansial (financial constraint). Studi dari Maulidia dkk (2014) menemukan 4 temuan penting terkait hal ini. Pertama, untuk mencapai target 23% bauran energi Indonesia pada tahun 2024 berasal dari renewable energy dibutuhkan pembangunan minimal 45,2 GW pembangkit listrik. Kedua, untuk membiayai pembangunan 45,2 GW pembangkit listrik ini dibutuhkan investasi sebesar Rp1.600 triliun yang 47% di antaranya harus berasal dari investasi swasta. Ketiga, kebijakan di Indonesia justru membebani bunga tinggi yang mencapai 10% untuk investasi proyek renewable energy. Situasi ini membuat investasi swasta justru sulit untuk masuk membiayai proyek renewable energy di Indonesia. Ironisnya, kebijakan-kebijakan pemerintah justru memberikan subsidi skala besar kepada energi berbasis fosil. Hal ini membuat energi fosil menjadi lebih kompetitif secara harga dan efisien secara biaya. Situasi yang kemudian membuat investor swasta lebih tertarik untuk berinvestasi di energi berbasis fosil.
Tantangan Politik: Siklus Politik vs Siklus Kebijakan
Tantangan kebijakan berikutnya adalah terkait dengan time consistency problem. Hal ini merujuk pada sebuah konsep dalam kebijakan publik yang diadaptasi dari kebijakan moneter. Gagasan dasarnya adalah dari adanya benturan antara siklus kebijakan dengan siklus politik (Mankiw, 2012). Konsistensi implementasi kebijakan terganggu akibat kepentingan elektoral menjelang pemilu Di Indonesia, contoh dari time consistency problem ini adalah ketika pemerintah dari tahun 2014-2017 menetapkan kebijakan penyesuaian tarif listrik yang fleksibel. Kebijakan ini menyatakan bahwa tarif listrik akan disesuaikan 3 bulan sekali dengan harga minyak dunia, inflasi, dan nilai tukar. Namun, pada tahun 2018 dan 2019 kebijakan ini dihentikan. Studi dari Ordonez (2022) menyimpulkan bahwa penghentian ini adalah untuk menjaga popularitas pemerintah menjelang pemilu 2019. Padahal kebijakan tarif listrik fleksibel dapat menjadi insentif untuk beralih ke renewable energy. Terutama karena kebijakan ini dapat memangkas ketimpangan selisih harga antara energi fosil dengan renewable energy.
Tantangan Kebijakan: Inkonsistensi Kebijakan
Rintangan ketiga yang dihadapi terkait kebijakan pro renewable energy di Indonesia adalah rintangan kebijakan akibat adanya inkonsistensi kebijakan. Studi dari Ordonez (2022) menemukan dua hal yang dengan jelas merepresentasikan permasahan inkonsistensi kebijakan ini. Pertama, dari tahun 2014 hingga 2016 berbagai kebijakan pro renewable energy dikeluarkan oleh pemerintah utamanya melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM). Beberapa diantaranya adalah skema Feed-in Tarrif (FiT) untuk renewable energy, pendirian Satgas P2EBT, pendirian Center of Excellence untuk energi bersih, pendirian Dana Keamanan Energi (DKE), hingga Program Indonesia Terang. Kedua, ketika terjadi pergantian Menteri ESDM dari Sudirman Said ke Ignasius Jonan maka berbagai kebijakan energi yang telah disebutkan sebelumnya kemudian dihentikan. Hal ini menjadi tantangan besar karena pengembangan renewable energy membutuhkan konsistensi kebijakan. Sebagai contoh, studi dari Maulidia dkk (2019) menemukan bahwa pembangkit geothermal membutuhkan waktu 7 tahun hingga dapat mulai memproduksi listrik.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka beberapa kesimpulan dapat dirumuskan. Pertama, dinamika kebijakan energi di Indonesia merupakan hasil dari benturan tekanan internasional dengan kebutuhan domestik. Kedua, kebijakan energi di Indonesia diwarnai kontradiksi. Hal ini karena pada satu sisi memberikan target tinggi untuk renewable energy namun pada sisi lain turut memberi berbagai insentif bagi energi fosil. Ketiga, dalam pengembangan renewable energy terdapat tantangan finansial karena membutuhkan investasi dalam jumlah besar namun tidak dibarengi dengan pemberian skema investasi yang kompetitif terhadap energi fosil. Keempat, dalam pengembangan renewable energy terdapat tantangan politik dari time-consistency problem akibat adanya benturan siklus kebijakan dengan siklus politik. Kelima, dalam pengembangan renewable energy terdapat tantangan kebijakan dari adanya inkonsistensi implementasi kebijakan.
Referensi
British Petroleum. (2021). British Petroleum Statistical Review of World Energy. [online] diakses pada 10 Desember 2022 melalui
<https://www.bp.com/content/dam/bp/business-sites/en/global/corporate/pdfs/ene rgy-economics/statistical-review/bp-stats-review-2021-full-report.pdf>
CNBC Indonesia (2021). Batu bara masih jadi kontributor PNBP terbesar. [online] diakses pada 10 Desember 2022 melalui
<https://www.cnbcindonesia.com/market/20210729201827-17-264732/batu-bara- masih-jadi-kontributor-pnbp-terbesar>
Mankiw, N. G. (2012). Principles of macroeconomics 6th edition. New York: Thompson South-Western Cengage.
Maulidia, M., Dargusch, P., Ashworth, P., & Ardiansyah, F. (2019). Rethinking renewable energy targets and electricity sector reform in Indonesia: A private sector perspective. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 101, 231-247.
Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change
Ordonez, J. A., Jakob, M., Steckel, J. C., & Fünfgeld, A. (2022). 15 Coal, power and coal-powered politics in Indonesia1. The Political Economy of Coal: Obstacles to Clean Energy Transitions.
Statista. (2022). Global country ranking by quality of infrastructure 2019. [online] diakses pada 10 Oktober 2022 melalui
<https://www.statista.com/statistics/264753/ranking-of-countries-according-to-th e-general-quality-of-infrastructure/>
World Economic Forum (2019). The global competitiveness report 2019. Genewa: WEC.
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!