Mikro Selebritas, Pandemi COVID-19 dan Komodifikasi Audiens
brief article, Revolusi DigitalSejak virus COVID-19 menyebar dan menjadi krisis global, tingkat kepedulian masyarakat dunia mulai bertambah terkait pentingnya menjaga pola hidup sehat. Kepedulian tersebut salah satunya ditunjukan dengan membagikan informasi melalui media digital. Media sosial Instagram sebagai salah satu produk dari media digital banyak digunakan oleh kementerian bidang kesehatan, organisasi, komunitas hingga individu guna menyampaikan informasi maupun kampanye tentang kesehatan.
Dengan maraknya pemanfaatan media sosial, penikmat Instagram pun turut meningkat. Hal tersebut mengakibatkan presentasi organisasi maupun individu dalam menyampaikan informasi terkait COVID-19 pun kian beragam, sehingga mulai bermunculan mikro selebritas baru. Karakteristik dari media sosial seperti Instagram ini memungkinkan penggunanya untuk dapat berpartisipasi dalam percakapan di dunia maya. Seperti yang dinyatakan oleh Turner (2010), dengan adanya demotic turn seorang individu yang awam sekalipun dapat meningkatkan visibilitasnya, salah satunya dengan label micro celebrity (Senft, 2008) yang dapat disandang individu atas popularitasnya di media baru.
Saat pandemi COVID-19, individu dengan profesi di bidang kesehatan yang menggunakan Instagram pun memiliki peluang besar untuk mendapatkan popularitas. Dengan profesi yang diembannya di sektor kesehatan, ia dapat secara otomatis memvalidasi informasi sehingga mendapatkan engagement yang tinggi. Secara sederhana engagement memiliki arti komunikasi dua arah atau komunikasi interaksional. Kunci dari komunikasi interaksional ini adalah adanya umpan balik (feedback) atau tanggapan terhadap pesan atau konten tertentu (Schramm, 1971). Kepopuleran dari label micro celebrity yang melekat pada pekerja kesehatan pun berpotensi memberikannya kekuatan atau kuasa guna mempersuasi audiensnya untuk melakukan sesuatu termasuk untuk mendapatkan keuntungan baik dari segi citra maupun ekonomi dengan adanya endorsement atau iklan.
Ekonomi-politik Media Sosial
Kemunculan Instagram menawarkan dinamika yang menarik untuk diteliti dalam kajian ekonomi politik dari Vincent Mosco. Konsep ekonomi politik merupakan salah satu cara untuk melihat dan menganalisis suatu fenomena komunikasi. Salah satu fungsinya yaitu untuk mengkaji praktik bisnis media, perilaku konsumen dan bagaimana media sebagai sumber daya komunikasi memanfaatkan perilaku konsumen menjadi produk untuk dijual di pasar. Salah satu konsep dasar untuk menjelaskan relasi antara ekonomi politik dan media adalah komodifikasi (Mosco, 2009). Komodifikasi merupakan proses di mana produk media yang berupa informasi atau hiburan menjadi barang dagang yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis.
Keadaan krisis seperti pandemi COVID-19 mengakibatkan kebutuhan akan media informasi meningkat, namun hal tersebut menjadi celah untuk beberapa organisasi atau individu untuk melakukan praktik ekonomi politik. Sebelumnya, penelitian terkait ekonomi politik media telah dilakukan oleh Fadhilah pada tahun 2020. Dalam penelitiannya, ditemukan praktik komodifikasi konten berita COVID-19 yang kemudian berlanjut kepada komodifikasi audiens, karena dengan konten yang disenangi oleh banyak penonton menjadikannya sebagai lahan untuk beriklan dan mendapat profit karena memiliki massa (Fadhilah, 2020).
Kandungan pada media merupakan komoditas yang dapat dijual di pasar. Penyebarluasan informasi dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Salah satu tokoh intelektual tentang ekonomi politik komunikasi bernama Dallas Smythe mengatakan bahwa audiens merupakan komoditas utama bagi media (Durham and Keller, 2009). Melihat dari hasil penelitian terdahulu terkait komodifikasi di media sosial Instagram, komodifikasi audiens inilah yang sering dilakukan oleh mikro selebritas, yaitu memanfaatkan massa yang dimiliki dan dikovergensikan ke dalam nilai engagement yang kemudian dijual kepada pengiklan media. Media sosial Instagram melibatkan kondisi industri media, minat audiens pada media baru, hingga para pengiklan melihat peluang Instagram dengan sosok penguasanya yaitu adalah mikro selebritas yang dapat dijadikan sebagai media iklan yang baru dengan penyebaran informasi cepat.
Mikro Selebritas dan Komodifikasi Audiens
Fenomena komodifikasi audiens melalui sosial media Instagram pada saat pandemi COVID-19 berpotensi dilakukan oleh mikro selebritas. Penulis merefleksikannya dengan menilik akun-akun Instagram pekerja kesehatan dengan label mikro selebritas. Saat COVID-19 melanda Indonesia, banyak pekerja kesehatan yang cukup vokal dalam menyampaikan informasi kesehatan melalui akun media Instagram pribadinya, seperti @dr.tirta, @dirgarambe, @jiemiardian, @giapratamamd dan masih banyak lagi.
Pada awal kemunculan COVID-19, para dokter tersebut menggunakan Instagram untuk menjalankan perannya dalam mengedukasi pola hidup sehat, menyiarkan kondisi terkait penanganan COVID-19, bahkan mengutarakan pendapatnya mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19. Selain itu, mereka pun kerap menggunakan akun instagramnya untuk berkampanye dan memberikan sugesti kepada masyarakat agar saling membantu dalam situasi sulit pandemi COVID-19. Dengan personal branding yang baik serta konten Instagramnya yang kian menarik perhatian terlebih saat Indonesia sedang krisis informasi yang akurat terkait covid 19, beberapa akun Instagram para dokter tersebut sampai mendapatkan lambang verifikasi (centang biru) dari Instagram.
Seiring dengan jumlah pengikut yang besar, konten Instagram mereka pun mengalami perubahan. Jumlah audiens yang didapatkan kini telah berubah menjadi halnya sebuah modal untuk ditukar dengan slot iklan yang kemudian dapat dijual kepada industri periklanan. Terlebih jika selain menjadi tenaga medis, mereka juga merupakan seorang entrepreneur atau pelaku usaha. Seperti dr. Tirta (@dr.tirta) yang memiliki brand usaha cuci sepatu Shoes and Care dan dr. RA Adaninggar (@drningz) yang memiliki usaha baju anak bernama babybss_store
Jika dibandingkan dengan konten unggahan lama Instagram dr. Tirta, konten yang disajikan murni edukasi seperti konten informasi covid pada Instagram yang diunggahnya pada tanggal 5 dan 26 April 2020 lalu. Namun, kini dalam konten edukasi seputar COVID-19 yang disajikan telah terpampang brand usaha dari dr. Tirta sendiri. Padahal jika ditilik sebelum ia mendapatkan lambang verifikasi, ia tidak menunjukan tulisan brand apapun pada kontennya. Berbeda konten yang diunggahnya pada tanggal 12 dan 13 November 2021 dengan latar tempat yang sama dengan sebelumnya, kini dr. Tirta mulai menunjukan brand Shoes and Care. Hal tersebut mulai ia lakukan setelah sebelumnya usahanya sempat mengalami kerugian yang besar karena pandemi COVID-19 (Tirta, 2020). Kini usaha cuci sepatu milik dr. Tirta tersebut telah kembali pulih bahkan membuka beberapa cabang baru. (shoesandcare, 2020). Begitupun dr. Jiemi Ardian, dengan popularitas yang dimilikinya kini konten Instagram dr. RA Adaninggar tidak hanya seputar edukasi kesehatan saja, tetapi juga konten endorsement seperti pada konten instagram yang diunggahnya pada 24 April 2021 dan juga akun instagram usaha miliknya yang dicantumkan pada biodata Instagramnya.
Dampak Instagram yang sangatlah besar, bisa menjadi celah sebagai starting point untuk individu maupun komunitas dalam mempersuasi. Celah yang terlihat dalam keadaan krisis seperti pandemi COVID-19 adalah dimana kebutuhan akan media informasi kian meningkat, yang kemudian momentum tersebut justru dimanfaatkan oleh beberapa organisasi atau individu untuk melakukan praktik ekonomi politik, seperti komodifikasi audiens. Setelah melihat fenomena tersebut, mikro selebritas dengan profesi di bidang kesehatan sebenarnya bisa memanfaatkan Instagram untuk melakukan praktik komunikasi kesehatan yang lebih efektif, seperti menggerakan sebuah kampanye kesehatan. Kepopuleran dari label micro celebrity yang melekat memberikan kekuatan atau kuasa guna mempersuasi audiensnya untuk melakukan sesuatu aktivitas.
Referensi
Dr. Tirta. (2020, Mei 1). Unggahan konten terkait kerugian akibat pandemi Covid-19. Â Â Â https://www.instagram.com/p/B_pqMRIhVr2/?utm_medium=copy_link
Durham, M. G., & Kellner, D. M. (2009). Media and cultural studies: Keyworks. Â Â Â Â Â Wiley-Blackwell.
Fadhilah, T. (2020). Komodifikasi Berita Kasus Pandemi COVID-19 Pada Portal Poskota.co.id Periode Maret – April 2020. Universitas Pof. Dr. Moestopo       Jakarta.
Mosco, V. (2009). The political economy of communication. SAGE.
Schramm, W. L. (1971). The process and effects of mass communication. University of  Illinois Press.
Senft, T. M. (2008). Camgirls: Celebrity and community in the age of social networks. Peter Lang.
Shoes and Care. (2020). Pandemi Corona Tidak Menyurutkan Shoes and Care untuk     Berbenah dan Membuka Cabang Baru. Shoesandcare.com.            https://shoesandcare.com/blog/pandemi-corona-tidak-menyurutkan-shoes-and-       care-untuk-berbenah-dan-membuka-cabang-baru
Turner, G. (2010). Ordinary people and the media: The demotic turn. SAGE
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!