Seksualisasi dan Standarisasi Tubuh Ideal Perempuan dalam Industri Game
brief article, Revolusi DigitalRepresentasi karakter perempuan dalam video game menjadi salah satu topik yang menarik dalam bidang sosiologi, khususnya ketika berbicara di ranah humaniora digital. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Downs dan Smith pada tahun 2010 menganalisis game-game terlaris pada tahun 2003 di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa hanya 14% dari semua karakter dalam game-game tersebut yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender yang signifikan dalam representasi karakter, yang menunjukkan bahwa karakter laki-laki cenderung mendominasi industri game.
Selain itu, dari jumlah karakter perempuan yang terbatas, sebagian besar digambarkan dengan cara yang diseksualisasi. Menurut penelitian yang sama, 41% karakter video game perempuan tampil dengan pakaian yang terbuka secara seksual, dan 43% didesain dengan telanjang sebagian atau seluruhnya. Temuan ini menyoroti prevalensi seksualisasi dalam penggambaran karakter perempuan, yang dapat berkontribusi pada objektifikasi dan memperkuat stereotip yang tidak baik terhadap perempuan (Downs & Smith, 2010). Dampak dari fenomena ini berkaitan dengan “teori objektifikasi”, yang menyatakan bahwa paparan terhadap karakter media yang diseksualisasi, baik dalam film, majalah, iklan, ataupun video game, dapat meningkatkan objektifikasi diri dan menurunkan kepuasan tubuh di antara pemain perempuan (Puiu, 2022).
Menurut American Psychological Association (APA) seksualisasi mengacu pada proses di mana individu, terutama anak perempuan dan perempuan, diperlakukan sebagai objek seksual dan dihargai berdasarkan penampilan fisik dan daya tarik seksual mereka. Proses ini melibatkan penggambaran, penyajian, atau representasi individu dengan cara-cara yang menekankan seksualitas dan mereduksi mereka menjadi objek seksual (Lethbridge, 2022). Meskipun seksualisasi pada penampilan tersebut tidak digambarkan secara terang-terangan, namun hal tersebut telah menciptakan definisi daya tarik fisik yang terbatas (standar kecantikan yang tidak realistis). Misalnya saja, perempuan baru dikatakan cantik ketika ia memiliki kulit putih, badan kurus, dada besar, dan pinggang yang ramping.
American Psychological Association (APA) menjelaskan empat kriteria standar untuk media yang dianggap melakukan tindakan seksualisasi. Kriteria pertama adalah adanya penekanan pada daya tarik seksual seseorang, baik dari penampilan maupun perilaku. Kriteria kedua yakni muskularisasi yang berlebihan pada karakter laki-laki, serta payudara besar dan pinggang kecil untuk karakter perempuan. Kriteria ketiga dari karakter yang diseksualisasi adalah objektifikasi seksual, yaitu mereduksi individu menjadi objek yang digunakan untuk memberikan ‘pleasure’. Kriteria terakhir yang dijelaskan oleh APA adalah pemaksaan seksualitas pada seseorang, misalnya menggambarkan karakter dengan pakaian yang minim (Lethbridge, 2022). Dengan demikian, penyajian karakter perempuan dalam video games sebagaimana dijelaskan di atas berarti paling tidak merefleksikan kriteria kedua sebagai bentuk seksualisasi dalam media.
Selain seksualisasi secara fisik, penggambaran perempuan dalam game berkaitan dengan masalah peran gender tradisional dan stereotip, seperti kiasan “damsel in distress” (gadis yang sedang dalam kesulitan) (Kondrat, 2015). Contoh saja pada salah satu game paling bersejarah, Super Mario atau Mario Bross. Dalam game ini, sang pahlawan, Mario, harus menyelamatkan seorang perempuan muda bernama Princess Peach yang diculik dan terperangkap di sebuah kastil. Princess Peach muncul di 14 game inti Super Mario dan 13 di antaranya menampilkan dirinya yang diculik. Super Mario 2 yang dirilis di Amerika Utara menjadi satu-satunya seri di mana Princess Peach tidak diculik dan merupakan karakter yang dapat dimainkan (Arteta, Khairi, & Rabat, 2015).
Barbie Culture
Munculnya standar ideal tubuh perempuan juga berkaitan erat dengan fenomena Barbie culture. Istilah Barbie culture pertama kali diperkenalkan oleh Mary F. Rogers dalam bukunya yang berjudul Barbie culture (1999). Kultur ini mengacu pada munculnya popularitas boneka Barbie dan dampaknya terhadap masyarakat, di mana sejak diperkenalkan pada tahun 1959, Barbie telah menjadi ikon budaya dan simbol feminitas dan berdiri tegak sebagai ikon kecantikan Amerika
Citra tubuh menjadi bagian utama dari Barbie culture. Rambut yang indah, kaki yang jenjang, dan payudara yang berisi membuatnya memiliki kemampuan untuk mendefinisikan kesempurnaan. Tubuh seperti jam pasir. Selama bertahun-tahun gambaran ideal ini ditanamkan sebagai sebuah gagasan palsu pada banyak perempuan bahkan sejak usia dini. Cita-cita kecantikan atau fisik yang tidak mungkin dicapai terukir di benak gadis-gadis muda dan juga anak laki-laki karena orang tua menghabiskan ribuan dolar untuk membelikan anak-anaknya boneka Barbie sebagai hadiah ulang tahun (Rogers, 1999).
Carole Spitzack (dalam Roger, 1999) mengatakan bahwa “boneka dan perempuan melambangkan satu sama lain”. Boneka fashion seperti Barbie tidak hanya melambangkan perempuan ideal dalam sebuah budaya, tapi juga menggambarkan obsesi mereka untuk memiliki tubuh yang sempurna bak Barbie. Dengan demikian, boneka tersebut menunjuk pada tubuh yang diidealkan, dan tubuh yang berjuang untuk menjadi ideal pada akhirnya menunjuk kembali pada boneka tersebut. Barbie, misalnya, menunjuk pada Madonna atau Cher, dan para superstar tersebut menunjuk kembali ke Barbie. Dampaknya, perempuan dituntut untuk tampil menjadi sesuatu yang ‘bukan perempuan’ dan mereplika Barbie yang justru merupakan wujud ‘perempuan fiksi’.
Hal ini menggiring perempuan pada pada perilaku konsumtif dan pola diet ekstrim sebagai upaya untuk mewujudkan replika Barbie pada diri mereka. Dalam sebuah analisis terhadap 32 penelitian yang melibatkan 63.181 orang, para peneliti dari Spanyol dan Ekuador menemukan bahwa 22 persen anak-anak berusia tujuh hingga 18 tahun menunjukkan tanda-tanda gangguan makan (eating disorder). Mirisnya, gangguan makan ini lebih banyak terjadi pada anak perempuan dengan persentase 30% di anak perempuan dan 17% di anak laki-laki. Orang yang menunjukkan pola gangguan makan di usia muda akan lebih tinggi kemungkinannya didiagnosis mengalami gangguan makan saat dewasa. Internalisasi nilai mengenai standar tubuh ideal sejak usia dini berperan besar dalam menghadirkan potensi gangguan makan pada anak (Lopez-Gil, dkk., 2023).
Selain itu, dampak dari Barbie Culture pada citra tubuh anak ini juga ditunjukkan oleh Jallinek, dkk. (2016) dalam penelitiannya yang berjudul The impact of doll style of dress and familiarity on body dissatisfaction in 6 to 8-year-old girls menyimpulkan bahwa anak-anak perempuan yang bermain dengan boneka Barbie mendorong mereka untuk menginginkan tubuh yang sama. Barbie membuat anak perempuan berpikir bahwa mereka harus berpenampilan dengan cara tertentu untuk menjadi menarik.
Hiperidealisasi dan Male Gaze dalam Industri Video Game
Seperti yang tampak pada pemaparan di atas, Barbie culture merupakan bentuk hiperidealisasi pada desain karakter perempuan. Hiperidealisasi merupakan penggambaran yang menekankan kecantikan fisik, proporsi yang berlebihan, dan atribut yang tidak realistis (Matthews & dkk, 2016). Sebagai sebuah budaya, standar yang ditetapkan oleh boneka Barbie tidak dipilih, melainkan terinternalisasi sejak dini dalam kepala banyak orang, mengingat pasar konsumen Barbie yang merupakan anak-anak.
Maka dari itu, hingga dewasa, standar tersebut terbawa dan akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap ‘memang seharusnya begitu’, termasuk oleh para desainer game. Tentu saja para desainer karakter perempuan di industri game ini tidak serta merta menyebutkan bahwa bentuk tubuh dari karakter yang dirancangnya terinspirasi dari Barbie. Namun, gambaran ideal tubuh seorang perempuan di alam bawah sadar mereka telah terfiksasi kepada Barbie culture sehingga, dciptakanlah desain karakter seperti Lara Croft (Tomb Rider), Chun-Li (Street Fighter), D.va (Overwatch), dan Alice (Mobile Legend: Bang-Bang). Pengembang video game percaya bahwa karakter perempuan yang sangat ideal ini akan lebih menaarik secara visual dan mengundang lebih banyak pemain.
Selain itu, sifat industri video game yang didominasi oleh laki-laki juga berkontribusi pada hiper-seksualisasi karakter perempuan, karena penggambaran ini memenuhi hasrat yang dirasakan oleh para pemain laki-laki (Salter & Blodgett, 2012). Penelitian dari Teresa Lynch, dkk. yang berjudul Sexy, Strong, and Secondary: A Content Analysis of Female Character in Video Games Across 31 Years (2016) juga menunjukkan bahwa, industri game saat ini menyadari bagaimana mereka meminggirkan separuh dari audiensnya dengan menciptakan karakter-karakter perempuan tunduk terhadap male gaze. Male gaze sendiri merupakan konstruksi sosial yang berasal dari ideologi atau—wacana patriarki dalam mempotret bagaimana peran gender sesuai dengan pemahaman mereka. Kehadiran karakter perempuan yang dibuat berfokus pada presentasi visual mereka, yang tidak lain bertujuan untuk mengobjektifikan perempuan sebagai “makna yang tidak bermakna” tanpa kehadiran laki-laki yang dominan. Peran perempuan yang digambarkan sedemikian pasif ini bertujuan untuk guna memuaskan dan memperkuat ideologi patriarki di masyarakat (Mulvey, 1975).
Meskipun sekilas tampak tidak berbaya, pengaruh male gaze pada desain karakter game menyebabkan pemain melihat karakter hanya sebagai objek hasrat seksual, bukan sebagai karakter dengan kepribadian dan cerita yang mendalam. Selain itu, ia juga memengaruhi persepsi sosial pemain terhadap tubuh dan citra perempuan. Pemain mungkin terpapar pada standar kecantikan yang tidak realistis atau stereotip gender yang merugikan.
Kesimpulan
Karakter perempuan dalam industri video games kerap kali mengalami seksualisasi lewat desain mereka. Tanpa disadari desain-desain karakter ini dipengaruhi oleh apa yang disebut dengan Barbie culture. Kultur ini menetapkan standar ideal kecantikan perempuan yang berpatokan dengan tampilan boneka Barbie. Hal ini berpengaruh pada munculnya hiperidealisasi pada tubuh perempuan yang berujung pada tindakan konserisme ataupun pola diet ekstrim guna mendapatkan tubuh bak boneka Barbie. Hiperidealisasi pada desain karakter perempuan di video game ini juga dilanggengkan oleh pengaruh male gaze pada industri tersebut. Male gaze mengacu pada pandangan audiens laki-laku dan merupakan konstruksi sosial yang didasarkan pada wacana patriarki dalam memproyeksikan perempuan sesuai dengan pemahaman mereka. Pengembang video game merasa bahwa desain sensual dapat lebih menarik perhatian para pemain. Pada akhirnya karakter perempuan hanya dilihat sebagai objek seksual dan mengabaikan keunikan ataupun kemampuan dari karakter itu sendiri.
Referensi
Arteta, C., & dkk. (2015, Mei 18). Playing with Women: Objectification and Victimization in Video Games. Retrieved Juni 20, 2023, from Salzburg Academy on Media & Global Change: http://www.salzburg.umd.edu/unesco/objectification-women-video-games
Downs, E., & Smith, S. L. (2010). Keeping Abreast of Hypersexuality: A Video Game Character Content Analysis. Sex Roles, 62, 721-733.
Jallinek, R. D., & dkk. (2016). The impact of doll style of dress and familiarity on body dissatisfaction in 6- to 8-year-old girls. Body Image, 18, 78-85.
Kondrat, X. (2015). Gender and Video Games: How is Female Gender Generally Represented in Various Genres of Video Games? Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology, 6(1), 171-193. Lethbridge, S. D. (2022). Level Up: Examining the Effects of Sexualized Video Game Character. Selected Honors Theses. 164. Retrieved Juni 20, 2023, from https://firescholars.seu.edu/honors/164
Lynch, T., & dkk. (2016). Sexy, Strong, and Secondary: A Content Analysis of Female Character in Video Games Across 31 Years. Journal of Communication, 66(4), 564-584.
Lethbridge, S. D. (2022). Level Up: Examining the Effects of Sexualized Video Game Character. Selected Honors Theses. 164. Retrieved Juni 20, 2023, from https://firescholars.seu.edu/honors/164
Lopez-Gil, J. F., & dkk. (2023). Global Proportion of Disordered Eating in Children and Adolescents: A Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Pediatr, 177(4), 363–372.
Matthews, N. L., & dkk. (2016). Real ideal: Investigating how ideal and hyper-ideal video game bodies. Computers in Human Behavior, 59, 155-164.
Mulvey, L. (1975). Visual Pleasure and Narrative Cinema. Screen, 16(3), 6-18.
Puiu, T. (2022, Juni 30). Do sexualized video games actually contribute to misogyny and body image issues? Retrieved Juni 20, 2023, from ZME Science: https://www.zmescience.com/science/do-sexualized-video-games-actually-contribute-to-misogyny-and-body-image-issues/
Rogers, M. F. (1999). Barbie Culture. Sage Publication Ltd.
Salter, A., & Blodgett, B. (2012). Hypermasculinity & Dickwolves: The Contentious Role of Women in the New Gaming Public. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 56(3), 401-416.